SALAM-SARANE: JEJAK PERSAUDARAAN KASIH DI MALUKU
Upaya Membangun Bentuk Dialog Orang Salam-Sarane Di Maluku Dalam Terang Gaudium Et Spes
A. ABSRTAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggali bentuk-bentuk dialog yang sudah dilaksanakan di Maluku Tengah sebelum dan sesudah terjadi kerusuhan pada tahun 1999. Cara memperoleh data tersebut menggunakan metode penelitian kualitatif. Peneliti berusaha mengumpulkan informasi yang terkait dengan judul penelitian tersebut. Maka ada beberapa sumber informasi yang menjadi dasar bagi peneliti melakukan penelitian ini yaitu jurnal-jurnal dan penelitian lapangan. Hasil penelitian yang diperoleh ialah Salam-Sarane merupakan kekayaan budaya bagi orang Maluku sekaligus menjadi salah satu bentuk dialog kehidupan yang berpengaruh terhadap terciptanya persatuan dan kedamaian. Dalam konteks budaya di Maluku, sudah jelas bahwa melalui budaya Salam-Sarane setiap orang yang berbeda pendapat dan latarbelakang kehidupan dipersatukan. Melalui budaya tersebut Gereja Katolik terpanggil untuk merenungkan dan mengaplikasikan secara nyata ajarkan Gaudium et Spes agar Gereja sungguh terlibat memajukan kesejahteraan bagi banyak orang.
B. PENDAHULUAN
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kesamaan, keunikan, ciri atau identitas, kebutuhan, cita rasa dan nilai-nilai yang membentuk perilaku dan tindakan baik secara individu maupun kelompok komunitas (Ulahayanan, 2016). Jati diri suatu kelompok dapat kita telusuri melalui dasar keyakinan yang diakui dan dihayati bersama. Bagi orang Maluku Tengah pada khususnya, mereka sangat percaya bahwa orang-orang Maluku berasal dari satu negeri yang sama. Keyakinan tersebut diceritakan di dalam mitos Nunusaku bahwasanya di Seram terdapat sebuah gunung sakral yang di sebut dengan Nunusaku. Dari Nunusaku, mereka hidup terpencar-pencar ke berbagai tempat di Maluku Tengah, Maluku Tenggara dan Maluku Utara (Heanussa, 2019). Dalam relasi sosial kehidupan manusia, dialog karya dapat terjadi oleh karena sistem adat seperti yang dijumpai dalam negeri Hila Salam (Islam) dan negeri Kaitetu Sarane (Kristen) bersatu. Dahulu sebelum terjadi konflik berdarah di Ambon, mereka sudah hidup gotong royong (Ritiauw, 2018).
Ketika terjadi pecah perang berdarah di Ambon tahun 1999 orang-orang Islam di negeri Hila dan Kristen di Kaitetu juga mengalami peristiwa yang sama namun mereka tetap mempertahankan nilai adat yang tidak terdegradasi oleh konflik (Ritiauw, 2018). Di Maluku Ambon-Saparua juga terjadi kerusuhan disebabkan oleh politisasi agama dan etnis pada tahun yang sama (Pattinama, 2020). Beberapa negeri lainnya yang dikenal dengan cinta damai seperti Ouw (K), Sirisori (I), Haria (K) juga mengalami dampak kerusuhan kota Ambon (Tontji, 2020).
Di tengah pecah perang tersebut Islam dan Kristen memiliki tanggung jawab sosial-kultural sebagai modal perdamaian. Oleh karena kehadiran pengaruh asing berpotensi menghancurkan integritas bangsa yang berbudaya di masyarakat Maluku Tengah, Ambon dan saparua dan sekitarnya maka setiap masyarakat multikultural (suatu masyarakat yang memiliki beberapa budaya) dituntut agar mengangkat nilai-nilai kebudayaan lokal ke permukaan yang disebut dengan Salam Sarane. Tradisi pela-gandong menjadi kekuatan yang diandalkan untuk merekatkan relasi anak negeri Salam-Sarane dalam setiap aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Kita perlu mengakui adanya perbedaan makna dalam konsep teologis Islam-Kristen namun perlu diingat bahwa sebagaimana adat digunakan sebagai dasar mempersatukan masyarakat berbudaya, maka dialog iman dan teologis sangat diperlukan. Tujuan dari dialog tersebut ialah mendalami dan membangun konsep-konsep teologis yang mendukung perdamaian. Upaya dialog teologis dibangun atas dasar pemikiran bahwa konteks kehidupan kita di Maluku menghayati paham pluralisme. Kita tidak hanya menghidupi pengetahuan moral agama asli saja tetapi kehidupan pluralisme saat ini justru lebih menghayati ajaran agama Islam-Kristen yang berakar dalam budaya setempat. Kiranya pendekatan dialog iman dan teologis perlu digalang bersama untuk mengatasi konflik berbau sara yang sewaktu-waktu dimunculkan.
Kedua komunitas (Salam-Sarane) bersama-sama menghadapi realitas konflik 1999 hanya dengan jalan adat yang diwariskan sejak dulu misalnya dikenal dengan sebutan gandong bagi orang negeri Tamilou di seram, masyarakat Hutumuri di Ambon dan masyarakat Sirisori Amalatu di Saparua (salam sarane). Tentunya pada satu sisi juga ada benarnya mereka yang pendatang dari luar maluku belum begitu memaknai secara mendalam adat budaya Salam-Sarane di kelompok masyarakat setempat (Tontji, 2020). Ketika itu kelompok suku yang berasal dari luar maluku lebih menggaungkan politisasi agama tanpa mengharga upaya mengangkat kearifan lokal. Maka adat istiadat hanya bisa mempersatukan kelompok masyarakat beragama Islam dan Kristen yang memiliki budaya yang sama. Kedua kelompok ini telah memperlihatkan kekayaan budaya salam sarane dalam dialog karya. Tentunya Kitab Suci Islam dan Kristen mengajarkan tentang kedamaian itu dapat dibangun dalam perbedaan. Pengalaman hidup bersama (Komisi Kerasulan, 2017) dalam Salam-Sarane di antara umat manusia itu tidak hanya dilihat dari penghayatan adat, melainkan harus mengalami transformasi lebih tinggi pada keyakinan bersama bahwa ada konsep ajaran masing-masing agama yang menunjukan persamaan yang bisa dijadikan sebagai dasar dialog untuk menciptakan perdamaian dan kerukunan antarumat beragama. Maka kita perlu mendalami dan memahami bersama bentuk dialog yang perlu dibangun (Ulahayanan, 2016), dan bagaimana praksis dialog kasih di dalam pluralisme beragama di Maluku?
C. PEMBAHASAN
- DIALOG DALAM TERANG GAUDIUM ET SPES
Pada poin ini penulis akan membaca dan mendalami beberapa artikel Gaudium et Spes kemudian mengelompokannya ke dalam tiga bagian yang kiranya menjadi dasar bagi Gereja untuk menjalankan misi keselamatan di dunia dewasa ini (Hardawiryana, 2021).
KEHIDUPAN DAN KARYA (GS: 23, 24, 25)
Di tengah kehidupan kita zaman ini, relasi timbal balik antar manusia tidak bisa diabaikan. Relasi yang terbangun tersebut turut mendapat pengaruh dari perkembangan zaman. Di samping itu hal yang perlu ditekankan yakni membangun relasi antar pribadi-pribadi yang menuntut sikap saling menghormati dan menjunjung martabat kemanusiaan (art 23). Setiap manusia dipanggil untuk hidup bersama karena mereka semua sebagai satu keluarga berjalan bersama membangun sikap persaudaraan. Ditegaskan pula bahwa semua manusia berasal dari satu sumber yang sama dan akan kembali kepada asal yang sama. Mereka hidup berpencar-pencar di berbagai negeri namun kasih Allah selalu mempersatukan mereka sebagai satu saudara. Kita perlu mengakui bahwa setiap orang dari berbagai latar belakang suku, agama dan golongan mengakui bahwa ajaran cinta kasih kepada Allah dan sesama merupakan hukum utama (Rom 13:9-10; lih. 1Yoh 4:20) (art. 24). Atas dasar kasih, Yesus sebagai manusia juga mendoakan agar semua manusia menjadi satu (Yoh 17:21-22).
Asas dan tujuan seluruh aspek kehidupan lembaga sosial selalu tertuju kepada nilai pribadi manusia. Secara kodrati setiap individu sangat membutuhkan kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu di tengah pluralitas kehidupan, setiap individu saling berbagi dan saling memperkaya. Sebagai masyarakat, mereka perlu berdialog dan menggumuli setiap persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya yang mereka hadapi. Memang dalam setiap perbedaan sering menimbulkan perselisihan namun ada banyak hal positif yang ditemukan di tengah perbedaan (art 25).
REFLEKSI TEOLOGIS (GS: 22, 45)
Dalam artikel 22, menyebutkan Yesus Kristus adalah Adam baru. Dialah “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15). Dia pulalah manusia sempurna, yang menggembalikan kepada anak-anak Adam citra ilahi, yang telah ternodai sejak dosa manusia pertama. Ia dilahirkan oleh perawan Maria dan tinggal di antara kita. Melalui inkarnasi, Ia menyatukan diri dengan setiap orang. Oleh Karena kasih yang begitu besar kepada manusia, Ia rela mengorbankan diri dengan menumpahkan darah-Nya untuk mendamaikan dan mempersatukan setiap orang yang bertikai akibat perbudakan dosa. Ia mempersembahkan darah-Nya sendiri demi memberikan teladan kehidupan dan memulihkan jalan keselamatan bagi banyak orang. Setiap orang Kristiani yang mengakui dan taat pada Firman-Nya akan diberikan karunia Roh Kudus agar membimbing mereka senantiasa menjalankan hukum baru cinta kasih. Tuhan adalah Alfa dan Omega. Ia menuntun Gerejanya terlibat dalam dunia agar terang keselamatan diwartakan. Kehadiran Gereja di tengah dunia sebagai sakramen keselamatan bagi banyak orang (Ulahayanan, 2016). Maka setiap orang yang menjalankan Firman-Nya akan dibalas sesuai dengan perbuatannya (art 45).
PENGALAMAN IMAN (GS: 41, 29, 42, 57, 58, 92)
Tidak ada hukum manusia manapun yang menjamin kebebasan manusia selain Injil kristus mengajak putra putri Allah menolak setiap perbudakan yang bersumber pada dosa (art 41). Gereja terlibat dalam dunia karena ada keyakinan bahwa semua orang memiliki jiwa yg berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, kodrat serta asal mula yang sama, mereka semua ditebus oleh Kristus maka perlu diakui kesamaan dasariah semua manusia (art 29).
Salah satu misi Kristus diserahkan kepada Gereja yakni misi keagamaan untuk membawa terang agar membentuk dan meneguhkan masyarakat menurut hukum Tuhan. Kehadiran Gereja menjalankan misi untuk melayani semua orang terutama berkarya bagi mereka yang sungguh membutuhkan belas kasihan. Gereja mendukung dan mengakui apapun yang baik demi memajukan kesatuan dan solidaritas kewarganegaraan dan ekonomi. Kesatuan iman dan kasih di dalam terang Roh Kudus mendasari kesatuan Gereja. Misi Gereja bersifat universal maka ia hadir menjadi tali pemersatu pelbagai masyarakat suku bangsa yang berselisih. Pada dasarnya Gereja hadir untuk melayani kesejahteraan semua orang (Kira, 2022).
Gereja terpanggil untuk terlibat di tengah dunia agar bersama segenap orang berusaha membangun dunia secara lebih manusiawi. Di sini kebudayaan dihargai dan diberikan tempat sepenuhnya dalam setiap karya manusia (art 57). Melalui Yesus, Allah mewahyukan diri dalam setiap budaya yang khas dalam setiap zaman. Aneka budaya setempat menjadi wadah untuk menyebarkan kabar sukacita agar iman umat semakin bertumbuh dan berakar dalam keanekaragaman adatistiadat, budaya dan suku bangsa di manapun. Di sini Gereja menjalin persekutuan dengan berbagai pola kebudayaan setempat. Injil dan kabar sukacita yang diwartakan tentu diberitakan sebagaimana yang sudah Yesus lakukan yakni untuk menyempurnakan dan melengkapi bukan untuk meniadakannya. Perilaku hidup dan kebudayaan yang dikendalikan oleh kuasa dosa akan dilenyapkan oleh darah Yesus sendiri dan melenyapkan segala kesesatan-kesesatan yang mengancam kehidupan manusia (art 58).
Gereja merupakan tanda keselamatan dan lambang persaudaraan yang diwujudnyatakan dalam dialog antar umat beragama dengan ketulusan hati untuk menghimpun semua orang dari segala suku dan bangsa di dalam satu terang Roh Kudus. Dalam upaya membangun dialog, gereja mengedepankan nilai saling mengakui dan menghargai perbedaan dan mempersatukan umat beriman. Kesatuan yang dibangun tidak hanya bersifat ke dalam saja tetapi juga terarah keluar menjangkaui kelompok agama lain. Gereja memberikan diri dituntun oleh Roh Kudus sebagai lambang cinta kasih untuk menebarkan kasih dan membangun kerja sama secara persaudaraan kasih dan kebenaran (art 92).
- MEMBANGUN DIALOG ANTARUMAT SALAM-SARANE DALAM TERANG GAUDIUM ET SPES
A). Sejarah Pela Gandong Orang Salam-Sarane
Di Pulau Seram terdapat sebuah negeri yang dianggap sebagai tempat sakral dan negeri itu biasa disebut Nunusaku. Tempat ini merupakan awal mula kehidupan masyarakat asli yang kemudian menyebar ke negeri-negeri di Maluku. Mereka memiliki hukum-hukum adat yang diyakini berasal dari satu sumber yang sama yaitu Nunusaku. Keyakinan tersebut terkenal sebagai mitos Nunusaku. Nunusaku disebut sebagai Pulau Ibu “Nusa Ina” tempat pertama melahirkan kehidupan bagi mereka. Mereka kemudian menyebar ke bagian lain pulau Seram, Lease (Haruku, Saparua, Nusalaut) dan Ambon. Mereka dibagi dalam dua kelompok besar yakni Patasiwa/Ulisiwa/Lorsiwa (sembilan rumpun/kelompok) dan Patalima/Ulilima/Lorlima (lima rumpun). Pembagian rumpun tersebut dilakukan di beberapa tempat seperti Maluku Tengah, Maluku Tenggara dan Maluku Utara. Hitungan sembilan diberlakukan dalam hukum-hukum adat, ritus-ritus dan pola-pola sistem kekerabatan di dalam kelompok suku Patasiwa/Ulisiwa/Lorsiwa, sementara lima satuan kecil untuk kelompok Patalima/Ulilima/Lorlima. Apabila diadakan pemberian mas kawin dan denda terhadap suatu pelanggaran, maka anggota kelompok Patasiwa akan membayar dengan kelipatan sembilan, sementara anggota kelompok Patalima membayar dengan kelipatan lima.
Selain hukum adat, ritus dan sistem kekerabatan yang diwariskan oleh Nunusaku, ada juga warisan sistem kepercayaan agama suku (agama asli Nunusaku) terkhusus bagi orang di Maluku Tengah. Kendati mereka sudah hidup terpencar-pencar di bebrapa tempat namun agama suku Nunusaku tetap menjadi sarana utama pemersatu antar suku-suku di Maluku, jauh sebelum adanya pela. Sementara Antropolog Amerika, Dieter Bartels menegaskan bahwa pela sebagai sarana untuk melestarikan nilai-nilai agama Nunusaku di Maluku Tengah dan Ambon. Di dalam agama suku Nunusaku, baik itu struktur organisasi yang resmi, pemimpin agama dan tempat ibadah sama sekali tidak dimiliki. Maka diupayakan agar pela dapat melanjutkan dan melestarikan agama suku tersebut. Di sini pela menjadi wadah yang menjamin persatuan yang melampaui batas suku-suku dan agama (Kristen dan Islam) yang mereka anuti di Maluku Tengah dan Ambon. Di dalam pela terkandung nilai-nilai yang membangun relasi manusia yang bersifat komunal yang mampu dijadikan sebagai solusi yang memecahkan persoalan-persoalan antar masyarakat di negeri Salam-Sarane (Heanussa, 2019).
B). Konflik Tahun 1999
Pela gandong sempat mengalami degradasi makna akibat penyalahgunaan simbol budaya oleh para elit politik untuk kepentingan pemerintahan. Sebenarnya konflik itu bermula dari kesalahpahaman antar individu karena hal sepele. Namun kemudian mendapat pengaruh yang cukup besar dari kelompok suku. Untuk menenangkan situasi tersebut maka melalui jalan adat disepakati oleh orang basudara Salam-Sarane untuk berdamai. Namun upaya integrasi tersebut mendapat penolakan besar dari orang luar yang kurang memperhatikana kearifan budaya setempat. Pengaruh luar telah menggunakan kekuatan agama melalui daqwah dan buku-buku jihad yang dibagikan ke sekolah Dasar Sirisori Salam. Di sini adat budaya mendapat tantangan dan krisis identitas karena ada upaya menggantikan budaya lokal dengan kekuatan ajaran yang memecah belah (Tontji, 2020). Situasi ini juga memperlihatkan tidak ada upaya penyelesaian melalui jalan agama dengan mencari kesamaan di antara ke dua agama yang berpotensi mendamaikan. Memang benar bahwa sistem adat tidak kuat waktu itu karena orang luar mengumpulkan masa untuk berperang berdasarkan identitas agama. Ketika itu orang luar Maluku belum memahami tradisi Salam-Sarane yang dihayati di beberapa negeri tersebut. Jelas beberapa negeri Salam-Sarane tidak dapat terhindar dari konflik sehingga mereka juga terlibat dalam perang tersebut dan jelas mereka gagal memelihara warisan leluhur.
Hal yang menarik ialah, usai konflik itu masih ada upaya membangun kesadaran menggaungkan pela gandong untuk menciptakan kedamaian (Tontji, 2020) misalnya di pulau Saparua munculnya relasi sosial yang terbangun di pasar antara penjual dan pembeli dari ketiga pulau (Haruku, Tihulale, Latu Hualoi) untuk kebutuhan ekonomi (art 25). Aktifitas jual beli tersebut sudah dilakukan sebelum tahun 1999 tampak harmonis namun kondisi pasar mulai berubah pada tahun 1999 hanya dipadati oleh orang Kristen-Sarane. Tahun 2002 eskalasi konflik mulai menurun sampai tahun 2004 aktivitas pasar kembali berjalan normal sampai hari ini.
Sejarah membuktikan bahwa sistem kekerabatan sudah terjalin secara timbal balik antara Kristen-Sarane (Ouw) dan Islam-Salam (Sirisori) yang mereka sebut dengan hubungan pela. Sementara orang Sirisori dengan orang Haria disebut ikatan pela keras yang diwariskan secara turun temurun dari para leluhur (Tontji, 2020). Ikatan pela mengandung makna perjanjian antara kedua belah pihak maka jika ada yang melanggar syarat ketentuan adat-istiadat, maka mereka sendiri akan mendapat sangsi adat berupa musibah. Mereka juga mengakui bahwa musibah yang menimpa mereka merupakan sangsi pemberian dari arwah leluhur. Di sini jelas sekali bahwa hukum adat adalah wadah untuk mendapatkan kepastian atas keputusan yang adil (Tontji, 2020).
Selain relasi kedua pihak itu terjadi di pasar, kita dapat melihat aktifitas kelompok Salam-Sarane di beberpa tempat lain seperti penggunaan sarana angkutan umum hanya digunakan oleh orang Sarane sementara yang Islam menggunakan speed boat dari Tulehu (kota Ambon) ke kota Masohi (Pulau Seram). Keadaan kembali normal hingga bulan September 2010 dimana sudah ada keberanian masyarakat Sirisori yang menggunakan mobil ke pasar tanpa gangguan apapun. Kedua pihak tersebut juga memiliki tempat yang berdekatan jadi mereka sudah saling mengenal sudah berpuluh-puluhan tahun. Mereka menghadapi realitas konflik tahun 1999 hanya dengan jalan adat yang diwariskan sejak dulu misalnya dikenal dengan sebutan gandong bagi orang negeri Tamilou di Seram, masyarakat Hutumuri di Ambon dan masyarakat Sirisori Amalatu di Saparua (Salam-Sarane).
C). Dialog Karya antaraumat Salam-Sarane
Praktek yang memperkuat relasi gandong terlihat dalam upaya memberikan silaturahmi pada waktu Hari Raya Natal dan Lebaran yang sudah berlangsung sejak nenek moyang. Pada pecah perang 19 Januari 1999, ketika itu bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri . Perayaan dan silaturahmi dari keluarga Sarane tetap berlangsung di tempatnya Salam sampai sore hari mereka diantar kembali ke perbatasan. Usai konflik tersebut, kedua kelompok ini kembali merajut persaudaraan gandong melalui karya nyata pembangunan gedung gereja secara bersama-sama. Upaya membangun gedung gereja atau masjid merupakan bukti dialog karya bahwa mereka walaupun berbeda keyakinan tetapi selalu memiliki semangat keterbukaan dan ketetanggaan, saling membagi suka maupun duka dan menanggung bersama masalah kehidupan melalui proyek sosial yang didasari oleh kasih. Semua karya nyata yang diwujudkan melalui kerja sama bertujuan untuk membangun perdamaian dan keadilan bersama (Ulahayanan, 2016). Selain itu mereka dapat membangun kesadaran dan pengakuan bahwa mereka sebenarnya “satu”, miliki marga yang sama, dan banyak kesamaan lainnya yang dihidupi dari hari lepas hari. Kendati mereka memiliki dua negeri tetapi hanya memiliki satu kepala adat. Sejak zaman leluhur misalnya pada saat pengangkatan raja (kepala desa), kedua belah pihak melakukan ritual adat bersama-sama dipimpin oleh seorang pemimpin adat. Para leluhur telah memberikan pesan seperti yang diungkapkan dalam lagu “Biking Panas Pela”. Lagu ini memberikan pesan dari leluhur bahwa jika kuku terpotong maka daging juga turut merasakan sakit, sepotong sagu harus dibagi untuk dua orang dan mereka tidak boleh memandang perbedaan agama maupun kampung sebagai permasalahan (Heanussa, 2019).
Di tengah menghadapi konflik dan upaya mengembalikan keadaan seperti sediakala, adat istiadat kembali di jalankan oleh kelompok tertentu yang memiliki budaya Salam-Sarane sementara mereka yang dari luar menyesuaikan namun pemahaman mereka mungkin hanya di permukaan saja. Jalan adat digunakan dalam praksis kehidupan nyata membangun gedung gereja yang diruntuhkan pada september 2002 di Sirisori Sarane. Karya bersama ini merupakan sebuah inisiatif dari komunitas Sirisori Islam untuk membangun kembali pada tahun 2007 (Tontji, 2020). Pembangunan gedung gereja tersebut terlaksana atas dasar ikatan darah, di mana para leluhur dari kedua komunitas (Salam-Sarane) pernah bersama-sama membangun gereja pertama (gereja Tua) di Sirisori Sarane. Tindakan itu merupakan tanggungjawab bersama sebagai bentuk menjungjung tinggi nilai adat untuk memelihara ikatan relasi sosial dan hidup bersama satu rasa kendati berbeda agama. Relasi timbal balik sudah berlangsung sejak dahulu kala sebagai ungkapan senasib sepenanggungan (Tontji, 2020).
D). Upaya Mengembangkan Dialog Refleksi Teologis Dan Pengalaman Iman Antarumat Salam-Sarane
Setiap manusia di bumi ini berasal dari satu sumber yang sama yaitu Allah. Dialah yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan dan menghimpun masyarakat universal sebagai satu keluarga Allah. Hanya kepada Allah semua makhluk hidup menaruh pengharapan (art. 24). Allah yang tidak kelihatan menjadi terlihat di dalam diri Yesus Kristus. Ia sanggup melakukan segala sesuatu melampaui kekuatan manusia karena Ia adalah Raja semesta alam. Segala sesuatu telah ditempatkan di bawah kaki-Nya dan menjadi milik kepunyaan-Nya dan sepatutnya semua makhluk bertekuklutut di hadapan-Nya. Kasih dan kesetiaan-Nya menyertai umat manusia sampai akhir zaman. Penyertaan-Nya sungguh nyata melalui bimbingan Roh Kudus yang selalu bergerak menembus ruang dan waktu. Oleh karena itu, Ia senantiasa bekerja untuk memberkati setiap orang, setiap pergumulan dan sejarah hidup manusia supaya mereka dibimbing kepada kebenaran. Maka tidak dapat ditolak bahwa di dalam setiap budaya dan agama suku sudah terdapat benih kebaikan yang belum ditata dengan sempurna. Sampai saat ini belum ada titik terang baik dari agama Islam-salam maupun Kristen-sarane untuk meneguhkan nilai adat istiadat dengan nilai-nilai agama.
Saat ini masih terasa bahwa praktek hidup sosial di tengah masyarakat menggemakan adat istiadat. Memang benar bahwa adat istiadat sebagai sarana dialog karya yang dipakai untuk mendamaikan. Dialog merupakan panggilan untuk mewartakan kabar sukacita Injil dan kebenaran kepada semua bangsa. Dan oleh karena itu pemimpin agama maupun umat beragama harus mencari dan membangun secara nyata bentuk-bentuk dialog dan menegakan pilar-pilar kehidupan untuk menjawab persoalan di tingkat yang lebih luas. Selain menggunakan nilai-nilai adat yang diwariskan untuk menanggapi persoalan sosial masyarakat, namun sangat diperlukan juga upaya mengedepankan kesamaan nilai-nilai keagamaan yang menopang hidup bersama, nilai keagamaan yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, nilai agama yang berakar di dalam adat budaya lokal sebagai bentuk ekspresi dari iman yang benar. Maka, penulis akan membangun kerangka berpikir bentuk-bentuk dialog teologis dan dialog iman yang akan menjadi rujukan bersama yang harus kita pelajari bersama, kita renungkan dan kita wartakan dalam karya kasih agar benuh iman kepercayaan kita semakin berakar, bertumbuh, dan berbuah dengan rupa budaya setempat.
a). Dialog Refleksi Teologis
Hick berpandangan bahwa semua agama memiliki Allah yang sama. Namun Hans Kung menegaskan bahwa meskipun demikian finalitas Kristus tidak bisa disangkal karena merupakan keunikan dalam Kekristenan. Oleh karena itu dialog menjadi sarana dan tugas utama bagi Gereja untuk menjalankan misi keselamatan bagi banyak orang. Misi keselamatan ini dikehendaki oleh Allah sendiri bahwa semua orang harus diselamatkan. Karena Allah itu adalah kasih (1Yoh 4:7-8), maka keselamatan itu tidak hanya diberikan kepada orang Kristen saja tetapi juga ditawarkan kepada non-Kristen. Tugas perutusan ini dapat dijalankan oleh para pakar teologi dan pemuka agama dalam menanggapi setiap persoalan dunia dewasa ini. Para pakar teologi dari berbagai agama hendaknya berkumpul bersama untuk mendiskusikan pemahaman warisan-warisan agama. Mereka diharapkan agar berusaha menemukan bahasa dan cara-cara yang baik dan benar untuk menjelaskan iman yang diyakininya kepada orang lain. Tujuan dari diskusi tersebut untuk menguatkan sikap inklusif, toleransi dan saling menghormati nilai-nilai rohani. Para teolog juga perlu membahas letak kesamaan dan menjelaskan secara jelas titik perbedaan antara kebenaran iman katolik dan keyakinan agama lain. Melalui dialog, para teolog juga terdorong mengembangkan pendekatan teologi yang membantu setiap orang agar sungguh menyakini keimanannya dan secara sadar menghargai ajaran iman agama lain. Dalam konteks dialog, masing-masing agama mempertahankan identitas agamanya namun harus membuka hati untuk menerima kritikan dan masukan dari saudara agama lain.
Pada dasarnya, manusia hidup dalam satu bumi namun terdapat banyak agama. Ada titik kesamaan pandangan iman yang menjadi tonggak bersama membangun perdamaian dan kerukunan umat beragama. Dasar relasi yang tidak dapat ditolak oleh semua agama ialah cinta kasih terarah kepada Allah dan sesama. Hal ini ditegaskan teolog Hans Kung di dalam Etika Global bahwa cara memanusiakan manusia menjadi pribadi yang bermartabat, siapa pun dia tanpa memperhatikan perbedaan agama, ras, suku, budaya dan status juga ditemukan di dalam semua agama di dunia (Sihombing, 2017). Para tokoh agama mengakui bersama bahwa cinta kasih merupakan hukum baru yang mengantar setiap orang mengalami sukacita, keadilan, damai sejahtera dan keselamatan. Cinta kasih mendorong setiap orang untuk memperlakukan orang lain yang berbeda agama sebagai saudaranya sendiri. Jadi apa yang hendak kamu lakukan untuk diri sendiri, itulah yang harus kamu lakukan kepada orang lain. Sebab apa yang kamu lakukan kepada saudaramu yang paling hina, itulah kamu lakukan untuk Tuhan. Karena dengan melakukan perbuatan cinta kasih, kita sudah menjadikan sesama ciptaan sebagai saudara sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus.
Pendekatan teologi yang perlu dibangun dalam konteks kehidupan orang Maluku yaitu teologi persaudaraan kasih. Teologi ini sungguh kontekstual dengan kehidupan orang barudara Salam-Sarane di Maluku yang sudah terbentuk sejak para leluhur. Sikap orang Maluku tersebut tampak dalam sebuah lagu “Ale rasa beta rasa”. Lagu ini memberikan pesan bahwa apa yang dirasakan oleh orang Sarane, keadaan itu juga dirasakan oleh orang Salam. Artinya ketika ada susah atau senang kedua bersaudara itu menanggung bersama-sama. Nilai persaudaraan kasih sangat ditekankan dan terasa mendarahdaging di dalam kehidupan adat istiadat budaya umat Islam-Salam dan Kristen-Sarane di Maluku. Sebagaimana Yesus telah menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan kehendak Allah, merekalah itulah saudara-Nya laki-laki dan saudara-Nya perempuan dan merekalah ibu-Nya (Mrk 3:33-35) maka setiap orang Kristiani yang mengakui dan taat pada Firman-Nya akan selalu dibimbing oleh Roh Kudus untuk menjalankan hukum cinta kasih kepada Allah dan sesamanya. Teologi persaudaraan kasih ini menjunjung nilai kesetaraan bahwasanya semua orang memiliki hak dan kewajiban asasi yang sama dan perlu dihormati.
Kehadiran Gereja di tengah dunia merupakan sakramen keselamatan bagi banyak orang (Ulahayanan, 2016). Oleh karena itu, para teolog dan pemuka agama hendaknya semakin giat mengajarkan pengetahuan iman dan pendekatan teologi kontekstual dengan cara yang mudah dipahami dan dimengerti oleh awam. Dan juga lebih giat membangun dialog antarumat beragama di Maluku. Ditegaskan kembali bahwa teologi yang cocok untuk konteks kehidupan orang Maluku ialah teologi persaudaraan. Teologi basodara digemakan karena mau menegaskan bahwa kita semua yang hidup di dunia ini adalah bersaudara. Kita semua adalah masyarakat universal yang berasal dari Allah yang satu. Oleh karena itu sebagaimana tubuh yang satu memiliki banyak anggota, kita semua senantiasa dipanggil untuk memupuk rasa saling menerima, memiliki dan saling melayani. Perlu kita sadari dan mengakui bahwa semua anggota tubuh memiliki cirikhas tertentu, keunikan, dan talenta berasal dari Allah yang satu yang dapat berguna bagi orang atau kelompok lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Melalui pendekatan refleksi teologi basodara, para teolog dapat menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang pada dasarnya hidup bertetanggaan dan dipanggil untuk menghargai kesamaan hak asasi dan kewajiban sebagai manusia. Teologi basodara tidak asing bagi orang Maluku karena teologi tersebut sungguh lahir dari sejarah, pergumulan, pemahaman, konsep yang sudah bertumbuh dan mendarah daging dalam diri orang Maluku semasa dan setempat. Teologi ini juga bukanlah hal yang baru karena dalam seluruh aktivitas hidup orang Maluku tidak hanya berpegang pada adat tetapi juga nilai-nilai keagamaan baik Islam maupun Kristen yang sudah lama mereka anuti. Sangat diharapkan kepada para tokoh agama dan para teolog agar senantiasa berdialog dan mengajarkan Teologi Kasih Persaudaraan dalam konteks Maluku semasa dan setempat dengan bahasa yang mudah dimengerti.
b). Dialog Pengalaman Iman
Dialog pengalaman iman merupakan kesempatan baru bagi setiap umat beragama untuk ambil bagian dalam sharing iman dari hati ke hati baik secara personal maupun komunal. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh setiap peserta dialog ialah sungguh memahami arti dialog antarumat beragama, memiliki pengetahuan cukup tentang agamanya, sungguh percaya pada apa yang diyakininya, mempunyai identitas agama dan bertanggungjawab atasnya. Setiap peserta yang terlibat dalam dialog didasarkan pada panggilan untuk mengasihi dengan jujur dan rendah hati. Proses dialog ini hendaknya berjalan sesuai dengan visi yang sama yakni menghargai dan menjunjung tinggi martabat manusia (Ulahayanan, 2016).
Setiap manusia dipanggil untuk membicarakan dan membenahi persoalan tentang kemanusiaan karena semua manusia memiliki hak asasi yang sama di hadapan Allah Yang Esa (art 29). Tema dialog pengalaman iman terkait persoalan-persoalan yang dihadapi setiap hari. Hal yang disharingkan itu juga mengenai ekspresi iman dan tanggapan peserta terhadap rencana Allah di balik semua persoalan yang dialami di bumi yang sama. Dialog iman tersebut mendorong setiap orang untuk merefleksikan pengalaman hariannya dan mengemukakan apa yang dikehendaki Allah baginya sesuai dengan budaya dan keyakinan masing-masing agama (art 57). Berdasarkan iman kekristenan bahwa Allah turut bekerja dalam segala keadaan hidup manusia untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi dan taat pada Firman-Nya (Rom 8:28). Allah bekerja secara penuh untuk melenyapkan belenggu dosa dengan darah Yesus agar semua manusia memperoleh kedamaian dan kembali bersatu dengan Tuhan dan sesama (art 58).
Dengan dasar tradisi masing-masing agama, setiap partner dialog akan dibimbing oleh daya Roh Kudus agar saling memberikan kesaksian imannya tentang kebenaran dan kasih yang dianuti (art 92). Kendati awam menjadi garda terdepan dalam dialog iman di berbagai perkumpulan, namun sangat dibutuhkan gembala umat (Uskup dan Pastor Paroki) untuk memberikan motivasi, inspirasi dan evaluasi serta mendorong umat awam mempromosikan dialog lintas agama sebagai program pastoral. Sementara para biarawan-biarawati dipanggil untuk memberikan kesaksian hidup melalui kaul-kaul. Keterlibatan umat Allah dalam dialog antarumat beragama merupakan tugas utama menjalankan misi keselamatan bagi semua orang. Umat Allah adalah tubuh mistik Kristus sendiri maka harus bertanggungjawab memberikan kesaksian rohani kepada saudara yang berbeda agama. Tujuan dialog bukan pertama-tama memaksakan orang agar meninggalkan agamanya, melainkan kesaksian iman merupakan tawaran keselamatan di dasarkan pada kasih yang tulus agar semua orang diselamatkan dari perbudakan dosa (art 41).
D. KESIMPULAN – SARAN
Setelah membahas judul dalam tulisan ini maka saya menarik sebuah kesimpulan bahwa orang Islam-Salam dan orang Kristen-Sarane di Maluku merupakan masyarakat universal yang memiliki sejarah, asal usul, adat-istiadat, budaya yang sama. Kristen dan Islam, keduanya bersaudara seperti yang sudah digaungkan lewat lagu “Tifa Damai”. Sistem persaudaraan kasih Salam-Sarane di Maluku menjadi tonggak budaya lokal untuk menciptakan perdamaian dan kerukunan antarumat beragama di Maluku dan Indonesia. Teologi persaudaraan kasih merupakan tawaran teologi yang menjawab kebutuhan kontekstual orang basudara Salam-Sarane di Maluku. Saya berharap agar para pakar teologi, para pemuka agama dan umat beragama mengangkat dan melestarikan relasi orang basudara Salam-Sarane tidak hanya pada tingkat dialog karya/aksi/kehidupan. Mereka perlu mengambil langkah yang lebih jauh dan mempersiapkan diri secara matang, baik itu pengetahuan, keyakinan dan rasa tangguingjawabnya untuk membangun dialog level refleksi teologis dan level pengalaman iman.
PENULIS: DIAKON SEBASTIANANUS TURE LIWU, PR
DAFTAR PUSTAKA
Hardawiryana, R. (Ed.). (2021). Seri Dokumen Gereja No 19 Gaudium et Spes-Dokumen KWI. Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia.
Heanussa, Y. (2019). Pela dan Gandong Sebuah Model untuk Hidup Bersama dalam Konteks Pluralisme Agama di Maluku. Theo.Ukdw.Ac.Id, 2, 3–4.
Kira, B. (2022). BERLAYAR KE TIMUR Menuju Gereja Kontekstual di Tanah Papua Sebuah Refleksi dan Strategi Pastoral (Dwiko (Ed.); 22nd ed.).
Komisi Kerasulan, A. (2017). REVITALISASI PANCASILA Sumbangan Pemikiran Masyarakat Katolik Indonesia dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (H. dkk Siagian (Ed.); 1st ed.). Konferensi Waligereja Indonesia.
Pattinama, E. (2020). Identitas Multikultural Salam-Sarani Maluku untuk Integrasi Bangsa. Teologi Dan Studi Agama, 2, 30.
Ritiauw, B. (2018). DAMAI BERBASIS ADAT DI HILA SALAM-SARANE DAN KAITETU. 3 No. 2, 240, 241–242, 237, 230–233, 243.
Sihombing, A. F. (2017). PLURALITAS MENURUT HANS KŰNG DAN IMPLIKASINYA DI INDONESIA: SUATU KAJIAN ETIKA GLOBAL. TE DEUM, 159, 166, 168.
Tontji, S. (2020). Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku. 151, 152, 155, 156, 171, 172, 173.
Ulahayanan, A. (2016). DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA Sebuah petikan isi buku Dialog dalam Kebenaran dan Kasih (S. K. H. A. dan Keppercayaan (Ed.)).