Gerakan Pastoral Parokial
Dasar – Dasar Gerakan Pastoral Parokial Dan Kategorial
1. Aspek pastoral – spiritual (Animasi)
Allah menciptakan manusia menurut ‘gambar dan citra’ Allah sendiri (bdk. Kej, 1,27). Gambar dan citra Allah ini di wujudkan oleh manusia dalam kebersamaannya dengan Allah untuk ikut menata, menjaga, memelihara dan mengembangkan bumi dengan segala isinya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama dan keberlangsungan keutuhan ciptaan. Sebagai citra Allah, manusia mempunyai martabat sebagai pribadi yang mampu mengenali dirinya sendiri, menyadari kebersamaan dirinya dengan orang lain, dan bertanggung jawab atas makhluk ciptaan yang lain. Allah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk memelihara dan mengolah dengan bijaksana alam semesta ini serta berupaya menciptakan hubungan yang harmonis di antara semua ciptaan (Nota Pastoral KWI 2013). “Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta–benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih” (Gaudium et Spes art. 69). Perutusan dan panggilan gereja mendasarkan diri pada spiritualitas inkarnatoris-transformatif yang berpangkal dari misteri penjelmaan Allah dalam hidup manusia, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh 1:14). Dalam proses inkarnasi itu, Firman Allah menunjukkan solidaritas dengan manusia :“mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Fil 2:7), menunjukkan semangat belarasa kepada mereka yang menderita (Mat 9:36), mengupayakan hidup baru dan berkelimpahan dengan membawa kabar baik bagi orang miskin, pembebasan bagi tawanan, penglihatan bagi orang buta, dan pembebasan bagi orang tertindas dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4, 18).
Sikap dan perilaku terhadap lingkungan hidup harus mencerminkan keyakinan bahwa seluruh alam ciptaan adalah baik dan bernilai pada dirinya. Perilaku etis ekologis harus memberi ekspresi pula kepada keyakinan bahwa segala-galanya, termasuk manusia, secara mendasar berkaitan satu sama lain. Maka setiap usaha demi damai sejahtera manusia tidak akan mungkin mencapai maksud-tujuannya tanpa sekaligus mengusahakan kebaikan dan kelestarian seluruh ekosistem, bumi serta keanekaragaman hayatinya. Mengeruk kekayaan bumi untuk manusia, sambil menghabisi spesies atau bahan baku tertentu di bumi tanpa kesempatan untuk diperbaharui, harus ditolak sebagai tindakan tidak etis karena melawan keterkaitan manusia dalam komunitas makhluk ciptaan. Tugas perutusan khusus manusia untuk bertanggung jawab dalam melindungi dan mengelola atas bumi dan segala isinya tidak dapat dijalankan oleh manusia yang serakah tanpa mengenal pengorbanan, kenosis, penyerahan diri, seperti yang dilakukan Kristus bagi manusia dan seluruh ciptaan. Dalam arti itu, Kristus harus menjadi model bagi manusia jaman ini untuk mengembangkan perilaku hidup yang ramah lingkungan. Dengan demikian, bumi bisa menjadi tempat tinggal bersama dan sekaligus bisa menjadi rahim pangan bagi semua.“Lingkungan alam adalah harta kita bersama, … menjadi tanggung jawab semua orang” (Laudato Si art. 95).
2. Aspek hukum
Otonomi desa yang diberikan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 memberikan peluang bagi masyarakat adat berpartisipasi dalam proses pembangunan. Oleh karena itu masyarakat adat harus memberdayakan diri dan tidak lagi memberikan peluang untuk diperdayakan demi kepentingan politik dari kelompok maupun individu. Masyarakat adat mempunyai kapasitas untuk membangun dirinya sehingga mampu bersaing dalam situasi apapun. Bantuan pemerintah kampung membuka peluang besar agar pemerintah kampung dan pemilik dusun mengembangkan otoritasnya menguasai kekayaan alamnya.Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
3. Aspek Sosial
Kongres Masyarakat Adat Nusantara merumuskan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun di atas wilayah adat yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Hubungan-hubungan sosial antar anggota persekutuan masyarakat adat diatur oleh hukum adat yang mengatur hubungan-hubungan hukum (hak dan kewajiban) antara orang atau organisasi dalam suatu persekutuan adat dengan sumber-sumber alam di wilayah mereka. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dari hukum adat akan muncul konsepsi tentang hak adat. Pada dasarnya hak adat dapat dikatakan sebagai hak masyarakat adat untuk menguasai, memiliki, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya. Subyek hukum yang berhak mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber alam hanyalah anggota masyarakat adat setempat. Yang bukan anggota masyarakat adat setempat tidak memiliki hak apapun, kecuali atas izin masyarakat adat yang bersangkutan, sebab inti dari hak adat adalah kedaulatan masyarakat adat setempat atas wilayah mereka.
Selama ini ada kelemahan yang dimiliki oleh masyarakat adat ialah batas-batas wilayah yang kurang jelas, siapa pemegang hak atas wilayah tersebut, objek apa saja yang ada di atas tanah tersebut dan jenis hak apa saja yang melekat pada bidang tanah itu dan sebagainya. Kondisi inilah yang membuat masyarakat adat mempunyai kemampuan tawar-menawar yang agak lemah, menghadapi pihak-pihak tertentu, katakanlah pemerintah dan pengusaha yang mendapat izin dari pemerintah karena mempunyai kekuasaan dan uang. Masyarakat ada dengan segala kelemahannya membiarkan dirinya diatur oleh mereka yang tidak mengerti nilai nilai hidup setempat dalam kebersamaan dngan sesama dan alam sekitarnya.
4. Aspek Ekonomi
Pengakuan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam tidak mungkin dilepaskan dari hak-hak atas lahan dan wilayah (lihat Pasal 7). Oleh karena itu, Konvensi ILO (Internasional Labour Organization) No. 169 menetapkan prinsip dasar bahwa masyarakat adat memiliki hak atas sumber daya alam terkait dengan lahan mereka, termasuk juga berpartisipasi dalam penggunaan, pengelolaan dan pelestarian sumber-sumber daya alam. Konvensi ini menjelaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak atas sumber-sumber daya alam di wilayah mereka, termasuk hak untuk berpartisipasi dalam penggunaan, pengelolaan, perlindungan dan pelestarian sumber-sumber daya alam. Sebagai satu prinsip dasar, sumber-sumber daya ini terdiri atas dua macam: terbarukan dan tidak terbarukan seperti kayu, ikan, air, pasir dan mineral. Hak atas manfaat terkait keuntungan yang diperoleh secara ekonomis dari eksploitasi dan penggunaan sumber daya alam, juga diatur.
Masyarakat adat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pembagian manfaat yang dihasilkan dari pengolahan dan pengelolaan sumber daya alam di lahan mereka. Pembagiaan manfaat ini bisa beragam bentuknya, termasuk perjanjian khusus dengan masing-masing masyarakat; perjanjian yang dirundingkan di antara negara; dan pengelolaan sendiri atau redistribusi ulang pajak dan penghasilan untuk tujuan pembangunan khusus masyarakat adat.
5. Aspek Budaya
Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya.
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Jadi, untuk melaksanakan pembangunan di suatu daerah, hendaknya pemerintah mengenal lebih dulu seperti apakah pola pikir dan apa saja yang ada pada daerah yang menjadi sasaran pembangunan tersebut, adalah sangat membuang tenaga dan biaya jika membuat tempat wisata tanpa memberi pembinaan kepada masyarakat setempat bahwa tempat wisata tersebut adalah “ikon” atau sumber pendapatan yang mampu mensejahterakan rakyat didaerah itu. Atau lebih sederhananya, sebuah pembangunan akan menjadi sia-sia jika pemerintah tidak mengenal kebiasaan masyarakat atau potensi yang tepat untuk pembangunan di daerah tersebut.
6. Aspek Lingkungan
Pembangunan memanfaatkan secara terus menerus sumberdaya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Ketersediaan sumberdaya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedang permintaan akan sumberdaya alam semakin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat dan beragam. Dampak pembangunan tersebut mengakibatkan daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun.
Melihat kenyataan tersebut maka kearifan lokal masyarakat setempat juga mendapatkan tantangan dengan harus memenuhi kebutuhan dasar yang semakin besar dan gaya hidup serta pola hidup yang dihadapi oleh masyarakat dengan adanya pengaruh-pengaruh: adopsi inovasi teknologi, ekonomi pasar dan kebijakan politik. Di samping itu dalam pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal juga dipengaruhi oleh aspek : pemanfaatan, pelestarian, pengetahuan masyarakat dan kebijakan pemerintah yang semuanya itu akan mempengaruhi keputusan masyarakat untuk menentukan apa yang harus dilakukan yang sekaligus merupakan keputusan untuk mempertahankan atau tidaknya kearifan lokal yang selama ini dilakukan.
Aspek-aspek yang disebutkan di atas atau tidak disebutkan ( seperti politik, kesehatan dll ) dapat juga mendapat perhatian sesuai dengan situasi dan kebutuhan setempat dan sejauh dapat menunjang gerakan tungku api. Aspek aspek yang disebutkan perlu didalami dalam suatu proses untuk mendapat data – data yang lebih akurat.