Dalam penghayatan ini, perhatian utama tertuju pada kasih yang diberikan oleh Kristus, yang mampu membebaskan manusia. Kasih ini adalah elemen krusial dalam penyebaran Injil Yesus Kristus. Cinta yang dicurahkan oleh Yesus berperan sebagai kekuatan yang membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan yang disebabkan oleh dosa dan keterasingan dalam kehidupan. Dalam kesempatan refleksi ini, kami merujuk pada Injil Yohanes 8: 1-11. Di situ, Yesus menunjukkan kasihnya kepada seorang perempuan yang tertangkap karena berbuat zina. Alih-alih memberikan hukuman, Ia memilih untuk memberikan kebebasan dan mengampuni kesalahannya dengan ketulusan hati. Yesus berkata kepada mereka yang ingin menghukum perempuan itu: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu” (lih. Yoh 8: 7).
Tindakan Yesus ini menggambarkan sifat cinta sejati yang pemaaf dan bebas dari batasan duniawi. Nilai kasih ini bertujuan bukan untuk menekan, melainkan untuk memberikan kebebasan dalam menjalin hubungan persaudaraan dan kekeluargaan, tanpa menciptakan jurang antara satu dan lainnya. Kasih semacam ini mengajak setiap individu untuk bangkit, kembali kepada Tuhan, serta menemukan kembali harga diri mereka sebagai anak-anak Allah yang satu.
Kasih Kristus Yang Membebaskan
Nilai cinta ada untuk membebaskan, bukan untuk menindas, karena cinta menghadirkan transformasi, persatuan, keadilan, kebenaran, persaudaraan, serta kedamaian dan kebahagiaan sejati. Pengorbanan Yesus di kayu salib menjadi puncak dari kasih-Nya. Dalam hal ini, Kitab Suci melalui Injil Yohanes menekankan bahwa: “Dengan kasih-Nya yang luar biasa terhadap dunia, Ia mengirim putra-Nya yang tunggal ke dunia, agar siapa pun yang percaya kepada-Nya tidak akan binasa dan beroleh hidup yang kekal” (lih. Yoh 3:16). Hidup yang kekal ini dibangun di atas nilai cinta untuk bisa berbagi kepada mereka yang menderita, kurang beruntung, terpinggirkan, terasing, dihindari, dibenci, dan kurang mendapat perhatian. Melalui kasih-Nya, setiap individu dapat mempersembahkan dan menyiarkan nilai cinta demi kehidupan bersama.
Penderitaan dan kematian-Nya di salib melambangkan wujud cinta yang membebaskan, menyelamatkan seluruh umat manusia dari dosa dan kematian, serta mengantarkan mereka menuju kehidupan yang abadi. Dalam konteks penderitaan-Nya di kayu salib, Santo Paulus juga mengingatkan seluruh umat bahwa kasih Kristus menyatukan kita dalam satu tubuh, yaitu Gereja (lih. Ef 2:14-16). Oleh karena itu, melalui penderitaan dan kematian-Nya, kehidupan yang kekal dinyatakan dan ditawarkan kepada setiap orang (Bdk. Groenen 1994: 153). Pengorbanan di salib menciptakan dimensi nilai keselamatan untuk dunia, agar setiap manusia dapat hidup dan menjadi pelaku cinta yang membebaskan manusia dari ketidakadilan dan penderitaan dalam kehidupan mereka.
Dengan demikian, setiap umat Allah dipanggil untuk menjadi pelaku cinta yang adil melalui tindakan hidup yang berbagi kebaikan dan kasih Allah kepada mereka yang mengalami penderitaan. Dalam konteks ini, penderitaan rakyat Papua yang terlihat dalam ketidakadilan dan kemiskinan, penindasan dan kekerasan militer, pemerintahan yang otoriter, serta penyakit mematikan adalah realitas yang menunjukkan penolakan terhadap penyerahan diri Allah dalam sejarah keselamatan, sehingga kekuatan dosa membawa penderitaan dan kematian (Bdk. Bisei 2007: 40). Semua penderitaan ini muncul karena mengabaikan nilai kedamaian dan cinta dalam kehidupan bersama sebagai satu keluarga Allah, menyebabkan bertambahnya penderitaan dan penindasan akibat diabaikannya nilai kasih persaudaraan dan kebebasan dalam hidup bersama.
Dengan demikian, dalam berbagai penderitaan dan ketidakadilan ini, nilai cinta sering kali diabaikan, sehingga kekerasan dan kejahatan semakin terus meningkat. Namun, setiap manusia dipanggil melalui Gereja untuk menjadi tanda kasih Allah bagi dunia, yang hanya dapat diwujudkan secara nyata dalam tindakan cinta kepada sesama (Bdk Boas Pegan 2016: 4). Menjadi simbol kasih Allah bagi sesama dapat menunjukkan kemuliaan Allah yang mencurahkan kasih-Nya kepada dunia ini. Hal ini mengindikasikan bahwa kasih Allah menjadi simbol keselamatan bagi setiap manusia untuk bersaksi mengenai kedamaian dan sukacita kasih Allah yang mampu membebaskan dari segala penderitaan dan penindasan.
Kasih adalah Pemersatu
Dalam sebuah dunia yang dipenuhi penindasan, ketidakadilan, egoisme, penderitaan, ketidakterbukaan, kecemasan, ketakutan, dan keraguan, setiap individu diajak untuk membangun persaudaraan dan kesatuan dalam kasih. Kasih dan Cinta Allah adalah dasar utama dalam kehidupan manusia. Terkait dengan hal ini, Rasul Yohanes menekankan bahwa “Siapa yang tidak mengasihi, tidak mengenal Allah, karena Allah adalah kasih” (lih. 1Yoh 4:8). Pesan dalam surat Paulus menegaskan pentingnya saling menghargai, menghormati sebagai keluarga Allah dengan lebih mengutamakan cinta Allah dalam interaksi sehari-hari. Oleh sebab itu, setiap orang diminta untuk menciptakan jembatan untuk saling pengertian, penghormatan, dan penghargaan agar kita dapat bersama-sama mencapai keharmonisan (Bdk. Daen 2015: 69).
Dengan demikian, nilai Cinta memiliki kekuatan untuk meruntuhkan hambatan seperti kebencian, dendam, egoisme, penderitaan, ketakutan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Seperti yang dinyatakan dalam dokumen Konsili Vatikan II melalui Gaudium et Spes, “Allah tidak ingin umat manusia hidup sendiri, tetapi menyatukan mereka dalam satu keluarga penuh cinta” (lih. GS 24). Aspek penyatuan merupakan bagian dari menciptakan kesatuan, kebersamaan, dan dialog yang bijaksana untuk melawan ketidakharmonisan, perpecahan, dan kekerasan dalam kehidupan di dunia ini.
Setiap individu dipanggil untuk menghayati nilai cinta dalam kehidupan bersama demi kebaikan bersama. Menghidupi nilai cinta berarti membangun hubungan yang adil, damai, dan harmonis. Dalam hal ini, Kitab Mazmur menekankan mengenai kebaikan bersama (bonum commune) dengan mengatakan: “Sungguh, betapa baik dan indahnya jika saudara-saudara hidup bersama dengan seharmonisnya” (lih. Mzm 133:1). Penggalan Mazmur ini merupakan inti dari segala kebaikan Allah bagi dunia.
Oleh karena itu, setiap orang diundang untuk saling menerima dan menghargai satu sama lain sebagai saudara tanpa bersikap diskriminatif. Dengan demikian, umat Allah dipanggil untuk membangun nilai-nilai harmonis dengan cara yang bebas dan terbuka. Nilai keharmonisan ini muncul dari cinta Allah yang menghubungkan semua umat-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam Kitab Mazmur: “Cinta dan kesetiaan akan bertemu; keadilan dan kedamaian akan saling mencium” (lih. Mzm 85:11).
Kasih Dalam Konteks Kehidupan Sehari-hari
Umat Allah diajak untuk menciptakan dan membangun kedamaian, keadilan, kemakmuran, serta keharmonisan, sekaligus melawan segala bentuk ketidakadilan dan permusuhan antarmanusia di dunia. Ini menunjukkan bahwa menciptakan kedamaian, menegakkan keadilan, dan mengembangkan dialog yang damai adalah cara terbaik untuk menyebarkan cahaya Injil Yesus yang mengajak umat menjadi saksi kasih-Nya dan menjadi garam serta cahaya bagi dunia (lih. Mat 5:13-16). Kutipan dari Injil ini berpotensi menghasilkan buah kasih yang abadi (lih. Yoh 15:16). Oleh karena itu, nilai kasih tersebut dapat direalisasikan melalui tindakan nyata dalam memperjuangkan keadilan dan perdamaian di dunia. Untuk menegaskan kutipan Injil dari Matius dan Yohanes di atas, Injil Matius secara khusus menekankan: “Berbahagialah mereka yang menciptakan perdamaian, karena mereka akan dikenal sebagai anak-anak Allah” (lih. Mat 5:9).
Dalam kerangka ini, kita menyaksikan, mengalami, dan mengikuti realitas dunia yang dipenuhi dengan ketidakadilan, pembunuhan, penderitaan, penindasan, pengungsian, dan kemiskinan yang mengabaikan nilai harkat dan martabat manusia. Kejamnya kekerasan mengakibatkan pengabaian hak hidup manusia sehingga penderitaan meningkat secara global di Indonesia, dan khususnya di Papua, seperti di Intan Jaya, Ndugama, Puncak Jaya, Mayberat, Penggungan Bintang, serta seluruh wilayah Papua. Pada akhirnya, nilai kasih dan keharmonisan dalam kehidupan bersama mengalami penurunan moral. Semuanya ini terjadi akibat kurangnya sikap terbuka untuk membangun dialog damai yang menghormati martabat manusia, sehingga cinta dan sukacita damai berada di ambang kehancuran. Dalam kondisi seperti ini, setiap orang dipanggil untuk menyebarkan misi Allah yang menyangkut kebenaran, keselamatan, dan keadilan sejati sebagai landasan utama, yaitu nilai cinta, dalam mewujudkan kehidupan baru yang diharapkan yakni kedamaian sejati dalam kebersamaan.
Dengan demikian, kasih Kristus melampaui segala perbedaan yang ada, termasuk suku, budaya, ras, dan bahasa. Di sini, Paus Fransiskus (2020) dalam ensikliknya Fratelli Tutti menegaskan bahwa cinta saudara adalah jalan menuju persatuan global: “Kita diciptakan untuk hidup sebagai satu keluarga, saling berbagi sebagai saudara.” (lih. FT 8). Artikel ini menjadi pusat dari nilai kasih, cinta, persaudaraan, kesatuan, kebersamaan, dan tanggung jawab dalam menghadirkan kedamaian serta keadilan-Nya sebagai tujuan utama kehidupan bersama sebagai satu keluarga dan bagian dari Gereja Kristus yang sejati.
Penutup
Pada akhir refleksi ini, kasih Yesus adalah sumber kekuatan yang dapat menyembuhkan, membebaskan, dan menyatukan semua individu di dunia ini. Oleh karena itu, melalui kasih itu, setiap orang diundang untuk membangun komunikasi yang damai, menjalani kehidupan dalam persahabatan, serta menciptakan komunitas sejati dalam Kristus, guna mewujudkan keadilan Allah di bumi ini dengan nyata.
Dengan demikian, setiap individu bertindak sebagai pelaku kasih terhadap sesama di dunia ini. Karena kasih adalah inti dari Injil, yaitu: kasih yang memberikan pengampunan (lih. Yoh 8:11), kasih yang berkorban (lih. Yoh 3:16), kasih yang menyatukan (lih. Ef 2:14), dan kasih yang dapat menghasilkan perdamaian (lih. Mat 5:9). Oleh sebab itu, mari kita jalani hidup ini dengan penuh kasih Kristus yang tidak hanya membebaskan namun juga menyatukan kita sebagai satu keluarga Allah di masa kini demi kebaikan hidup bersama.
Penulis: Fr. Yuven Migani Belau




