Pengantar
Kehidupan bersama antara paham kristiani dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya telah bermula sejak zaman para rasul. Seperti yang tertulis di dalam Injil Mat.28:19 (Motto STFT “Fajar Timur”), Yesus memerintahkan murid-muridnya untuk mewartakan Kerajaan Allah ke seluruh penjuru dunia. Berdasarkan perintah tersebut, para murid pergi berdua-dua untuk mewartakan Kerajaan Allah. Ajaran Yesus kini berkembang pesat hampir di seluruh dunia.
Hal ini tidak mudah sebab dalam melakukan penyebaran ajaran Kristiani, pastinya akan bentrok dengan budaya-budaya lain yang terdapat di suatu daerah. Untuk meminimalisir kesulitan tersebut, Gereja melakukan suatu cara yang diberi nama inkulturasi. Inkulturasi adalah suatu istilah yang digunakan di dalam paham Kristiani yang merujuk pada adaptasi dari ajaran-ajaran Gereja pada saat diajukan pada kebudayaan-kebudayaan non-kristiani, dan untuk mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan tersebut pada evolusi ajaran-ajaran Gereja (Gerald. O’Collins & Edward. Farrugia, 1990:119).
Inkulturasi berasal dari kata kultur atau culture, yang artinya dalam Bahasa Indonesia yaitu budaya. Inkulturasi merupakan cara yang paling efektif bagi Gereja untuk menyebarkan ajarannya. Inkulturasi dilakukan dengan tujuan agar ajaran Gereja mudah dipahami oleh khalayak ramai melalui budaya-budaya mereka sendiri. Namun, dengan tetap memegang suatu pegangan, yaitu pokok atau dasar inkulturasi adalah Yesus Kristus yang masuk ke dunia menjadi manusia (Emanuel Martasudjita, 2011 : 263).
Inkulturasi juga menjadi persoalan abadi di dalam Gereja. Masalah-masalah yang ada pada Gereja sebagian berhubungan dengan latar belakang Gereja. Sebagian orang beriman menganggap inkulturasi menyangkut unsur-unsur hakiki keagamaan yang tidak boleh ditinggalkan. Hal ini membuat penyebaran agama Kristen di Eropa Utara, apalagi India dan Tiongkok sangat terhambat oleh lambannya inkultrasi.
Salah satu contoh inkulturasi yaitu bahasa yang digunakan pada saat melakukan penyebaran ajaran. Dalam perayaan ekaristi contohnya, bahasa yang digunakan sekarang sesuai dengan bahasa setempat, sedangkan pada zaman dahulu bahasa yang digunakan dalam perayaan ekaristi yaitu Bahasa Latin yang merupakan bahasa asal gereja. Penyelarasan ini sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II yang juga menuntut adanya sebuah sinergitas antara budaya dan agama.
Walaupun inkulturasi dalam Gereja tidak selalu diinterpretasi sebagai kontekstualisasi dari ajaran Yesus Kristus, namun melalui karya Roh Kudus, inkulturasi boleh menjadi dasar bagi pertumbuhan iman umat setempat. Kehadiran Yesus kini benar-benar dialami dalam budaya setiap suku bangsa.
Sejarah singkat liturgi
Kata liturgi berasal dari bahasa Yunani Leitourgia. Kata ini terbentuk dari akar kata benda ergon, yang berarti karya, dan leitos, yang merupakan kata benda laos, yang artinya bangsa atau rakyat. Secara harafiah, leitourgia berarti karya atau pelayanan yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa. Liturgi dalam Perjanjian Lama dikaitkan dengan pelayanan para imam di Bait Allah. Sementara dalam Perjanjian Baru dikaitkan dengan pelayanan kepada Allah dan sesama dalam segala dimensi kehidupan (Martasudjita, 2011:15).
Selanjutnya dalam perkembangan Gereja, secara khusus sejak awal abad kesembilan, liturgi dimaknai sebagai ibadat Bersama (Gerald. O’Collins & Edward. Farrugia, 1990:180). Dimana orang-orang Kristen berkumpul, beribadat dan menghayati semangat hidup para rasul. Disini nampak jelas penegasan Yesus seperti yang terdapat dalam Matius.18:20, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”
Liturgi menurut sejarahnya tentunya mengalami perkembangan dari masa ke masa. Liturgi pada awal Gereja perdana berbeda dengan dengan saat ini. Jika dulu liturgi disusun sesuai konteksnya, kini juga mengalami hal yang sama. Aspek-aspek formal seperti tata gerak, warna liturgi, struktur liturgi, dll disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Namun walaupun semua aspek berubah, itu tidak berarti bahwa Gereja tidak lagi menghayati hakekat liturgi itu sendiri. Liturgi pada hakekatnya tetap dihayati oleh Gereja sebagai sebuah tindakan bersama untuk memuliakan Allah.
Gereja tidak saja menjadikan liturgi sebagai kegiatan profan tetapi juga sekaligus sebagai sebuah tradisi yang dilakukan turun-temurun sampai hari ini. Di dalam liturgi, kita tidak saja berjumpa dengan Allah secara pribadi, tatapi malalui persekutuan bersama semua jemaat. Itulah aspek liturgi sebagai pemersatu umat beriman. Bahwa ada saja semangat perjumpaan dengan Allah secara pribadi, tidak dibatasi, namun penekanan aspek liturgi disini yaitu bagaimana komunitas Kristiani membentuk satu persekutuan guna bersama-sama, membaktikan diri kepada Allah.
Teologi inkulturasi
Sejak Konsili Vatikan II, Gereja sangat menekankan keterbukaannya terhadap budaya bangsa –bangsa. Penekanannya terdapat dalam penegasan sebagai berikut :
“sebaiknya, Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan suku bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat semangat Liturgi yang sejati dan asli” (Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Liturgi Suci, bab 1, art.37).
Kebijakan Gereja melalui Konsili Vatikan II untuk memasukkan aspek inkulturasi ke dalam liturgi tentunya didasarkan pada tuntutan zaman. Gereja menyesuaikan diri dengan segala perkembangan tanpa mengabaikan aspek-aspek mendasar dalam masyarakat setempat. Tujuannya yaitu agar budaya setempat menjadi partner dalam karya pewartaan Injil Kristus. Budaya menjadi sarana bagi Gereja untuk menjalankan misi Kristus sesuai dengan konteks masyarakat setempat. Dengan demikian rasa memiliki (sense of belonging) terhadap Gereja juga semakin bertumbuh.
Pada dasarnya inkulturasi sebenarnya adalah sebuah istilah baru untuk praktek yang telah lama terjadi di dalam Gereja. Ia merupakan proses yang kompleks di mana pesan Yesus masuk kembali dalam masyarakat tertentu dengan budayanya. Dahulu pesan ini masuk bersama Yesus dan mengakar dalam budaya Yahudi, Yunani dan Romawi. Jika sekarang inkulturasi masuk di Tanah Papua, maka kita mengusahakan pesan Yesus yang sama masuk kembali dan mengakar dalam budaya Papua.
Pesan Yesus lalu akan menjadi sebuah perjumpaan antara iman dan budaya. Ia akan menjadi sebuah proses dialektis di mana pesan Yesus dan juga iman Kristen berinteraksi saling memperkaya dengan budaya setempat membentuk Kristianitas yang membantu umat mengenal Allahnya. Semangat inkulturasi menjadi dasar penggerak umat lokal sehingga motivasi untuk semakin mengenal Yesus dalam budayanya semakin bertumbuh subur.
Dalam khotbanya pada 7 Maret 2015, Paus Fransiskus menegaskan bahwa pembaruan liturgi bermaksud mengaitkan kembali ibadat dan kehidupan sehari-hari, liturgi dan sabda Ilahi (Ignatius Utama & Matheus Purwatma, 2015:504). Penyatuan nilai-nilai Kristianitas dan budaya setempat, menurut saya adalah satu kebijakan Gereja yang tapat. Gereja menjadi semakin kontekstual dan umat juga semakin partisipatif. Gereja benar-benar hadir di tengah umat dan umat juga merasakan kehadiran Gereja sebagai kehadiran Kristus untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya.
Mengembangkan Inkulturasi dalam Gereja Katolik Papua
Gereja dituntut agar bersama umat mengembangkan inkulturasi sesuai dan relevan dengan nilai-nilai budaya dalam perayaan liturgi. Gereja mempertahankan dan mengangkat nilai-nilai budaya yang relevan dengan ajaran Kristiani dengan cara membangun kerja sama, komunikasi dan dialog Gereja dengan tokoh adat dan dewan adat atau tua-tua adat sebagai pemilik dan otoritas nilai-nilai adat di wilayah pelayanannya. Aspek-aspek inkulturasi yang perlu dikembangkan oleh dan dalam Gereja adalah :
- Mengembangkan dan menggunakan simbol-simbol kebudayaan Papua dalam Gereja sebagai bentuk pengakuan dan mempertahankan identitas dan jati diri komunitas Kristen pribumi.
- Menyanyikan lagu-lagu komunitas etnik asli Papua maupun non Papua dalam setiap perayaan liturgi atau kegiatan kerohanian.
- Melaksanakan perayaan liturgi dalam bahasa setempat.
- Menggunakan istilah atau bahasa setempat dalam tema-tema kegiatan Gereja.
- Pembangunan Gereja atau tempat ibadat dengan konstruksi rumah adat setempat.
- Menyelenggarakan misa budaya di setiap paroki dan komunitas-komunitas budaya di perkotaan maupun di pedalaman atau paroki terpencil.
- Mengembangkan mitos-mitos lokal yang relevan dengan ajaran Gereja dalam perayaan Gereja atau kegiatan rohani. Gereja ingin membuat liturgi menjadi perayaan iman sesuai dengan pembawaan kebudayaan umat (SC: 40)
Untuk melaksanakan aspek-aspek inkulturasi yang ditawarkan di atas, maka pertama-tama yang perlu dilakukan Gereja adalah proses seleksi dan saring, inventarisasi dan identifikasi, proses internalisasi, proses sosialisasi, asimilasi dan enkulturas serta proses transformasi. Proses seleksi dan saring adalah tim pastoral bersama pemilik kebudayaan duduk bersama lalu menyeleksi nilai-nilai kebudayaan yang relevan dan cocok dengan ajaran Kristus.
Setelah itu, dilakukan inventarisir dan identifikasi nilai kebudayaan tersebut untuk kemudian digunakan pada kegiatan kegerejaan maupun perayaan liturgi di paroki, kombas dan komunitas-komunitas sosial. Proses internalisasi umat sebagai pribadi yang hidup dalam komunitas adat selama masih hidup belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan dan adat istiadat yang diperlukannya.
Sekedar membagi pengalaman bahwa selama 15 tahun berada di Nabire, saya menyaksikan proses inkulturasi di paroki saya, Paroki Kristus Sahabat Kita. Di mana telah ditentukan satu hari minggu dalam bulan sebagai misa budaya. Pada misa tersebut seluruh umat asli Papua mengenakan pakaian khas, nyanyian-nyanyian berbahasa daerah, bacaan-bacaan liturgi dalam bahasa daerah dan imam yang memimpin juga berasal dari putra daerah sendiri (paling sering yang memimpin misa adalah Alm. Pastor Natalis Gobay, Pr).
Bagaimana saya harus bertindak sebagai agen pastoral?
Saya berpikir bahwa ini adalah salah satu pertanyaan mendasar sekaligus bahan refleksi bagi setiap petugas pastoral. Untuk menjawab pertanyaan ini, paling kurang saya mengutip 3 hal mendasar yang diutarakan oleh Mgr. Hilarion Datus Lega dalam bukunya Memoria Pastoralia tentang berpastoral dengan menggunakan data yang valid (H. Datus Lega , 2013:152):
- Karena kita berhubungan langsung dengan umat, kebudayaannya dan berbagai kompleksitas masalah, maka sebagai petugas pastoral, kita mestinya membuat suatu analisis sosial kritis. Data sangat membantu kita dalam pemetaan masalah. Dengan demikian kita bisa mengambil tindakan pastoral yang ‘kena konteks’. Disini fungsi data adalah sebagai pembelajaran.
- Untuk menindaklanjuti langkah-langkah pastoral, maka kita mestinya bertolak pada ‘isi’ data yang telah diperoleh. Data membantu kita melihat dengan jelih hal-hal apa saja yang menjadi unsur primer dalam kehidupan umat.
- Dengan data yang telah kita peroleh, maka mestinya tindakan kita pun harus memiliki roh atau jiwa. Artinya tindakan yang kita lakukan benar-benar membawa satu perubahan bagi kehidupan iman umat.
Dengan 3 hal mendasar ini, petugas pastoral diajak untuk melakukan pendataan, mempelajari dan memahami konteks dan nilai-nilai kebudayaan umat setempat. Dua unsur penting yang dilakukan Gereja terkait dengan pendataan adalah pertama, mendata dan mempelajari-memahami konteks kebudayaan umat setempat maupun umat komunitas lain yang menetap bersama umat lokal. Jenis data yang diperlukan adalah data etnografi dan data kehidupan umat yang multietnik. Setelah jenis-jenis data di atas dikumpulkan lalu dilakukan analisis. Analisis terhadap konteks, data, kata, kalimat dan simbol-simbol yang telah diperoleh.
Kedua, mempelajari dan memahami kondisi aktual umat setempat yang telah didata secara parsipatoris lalu dilakukan program unggulan yang kontekstual sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan potensi umat lokal maupun umat lain yang telah lama hidup bersama umat lokal. Menyusun perencanaan dan program sesuai dengan kebutuhan umat hari ini, esok dan masa depan. Program ini tentu membutuhkan data umat yang riil dan kontekstual. Dalam hal ini, Injil juga mengingatkan petugas pastoral untuk memberi dan melayani sesuai kebutuhan umat setempat.
Oleh karena itu, poin ini menjadi catatan penting supaya pelayanan Gereja tepat sasaran, tepat pada kebutuhan dan tepat pada persoalan atau pergumulan umat. Karena misi Kristus datang ke duania adalah membahagiakan dan mensejahterakan umat dan memanusiakan manusia dengan menempatkan martabat manusia sebagai pusat kehadiran Allah.
Referensi
Emanuel Martasudjita, “Liturgi: Pengantar untuk studi dan praksis liturgy”, Kanisius, Yogyakarta, 2011.
Gerald. O’Collins & Edward. Farrugia, “Kamus Teologi”, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
Datus Lega, “Memoria pastoralia”, Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2013.
Ignatius Utama & Matheus Purwatma, “Setelah setengah abad, ke mana kita melangkah?”, Kanisius, Yogyakarta, 2015
Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Liturgi Suci