TRANSITUS SANTO FRANSISKUS: SAAT SAUDARI MAUT MENJADI JALAN MENUJU SURGA
Menjelang wafatnya Santo Fransiskus Asisi (1182–1226) di Kapela San Damiano, Asisi–Italia, pada 4 Oktober 1226, berlaku sebuah tradisi suci dalam komunitas Ordo Fratrum Minorum (OFM) sejagat. Menjelang kematiannya yang penuh kemuliaan pada 3 Oktober itu, Santo Fransiskus terbaring lusuh dan kaku di hadapan para saudara sejalur spiritualitasnya. Ia memanggil saudara-saudaranya, lalu menyampaikan wasiat berupa wejangan tentang hidup sebagai pengikut Yesus Kristus yang sederhana, miskin, dan hina. Perayaan tersebut dikenal dengan nama Transitus yang berarti “peralihan” atau “transisi suci” Santo Fransiskus, yaitu proses berpamitan kepada para saudaranya di bumi sekaligus bersiap dijemput “Saudari Maut” untuk menyeberang ke dunia baka, surga.
Kematian bagi Santo Fransiskus adalah saudari. Ia menyebut dan memaknai kematian sebagai Saudari Maut. Dengan cara itu, Santo Fransiskus sebenarnya ingin menjinakkan rasa takut manusiawi akan kematian. Menurutnya, kematian bukanlah terminal terakhir dari ziarah kehidupan, melainkan saudari yang menanti di ambang peralihan atau batas antara kehidupan dan kekekalan. Kata “saudari” sendiri menegaskan aspek feminin dari kematian: sesuatu yang lembut, merahimi, dan menghidupkan, bukan aspek maskulin yang terkesan kuat, keras, dan tegang.
Sebagai paroki yang dikelola oleh para Saudara Hina Dina Fransiskan Papua, komunitas umat di Paroki Santa Maria Immakulata, Moanemani–Dogiyai, memperingati peristiwa menjelang kematian Santo Fransiskus, yakni Transitus. Pastor Paroki, frater, serta para suster dari Komunitas Suster Dina Santo Yosep (DSY) memimpin jalannya ibadat Transitus. Saya bersama Pastor Kepala Paroki St. Petrus Mauwa, Pastor Bennyamin Magay, Pr, turut diundang oleh para saudara Fransiskan. Kami melangsungkan ibadat Transitus yang meneguhkan sekaligus menegangkan itu dengan penuh hikmat. Meneguhkan, sebab melalui pengalaman kudus Santo Fransiskus menjelang peralihannya dari dunia ini, umat memperoleh alasan dan landasan iman yang kuat. Menegangkan, karena pengalaman itu mampu menyingkap ketelanjangan ajal itu sendiri.
Transitus Santo Fransiskus Asisi adalah peringatan akan wafatnya Santo Fransiskus, pendiri Ordo Fransiskan. Kata Transitus berarti “melintasi” atau “menyeberang” yang menggambarkan kepindahan jiwa Santo Fransiskus dari kehidupan duniawi ke kehidupan abadi bersama Tuhan. Peringatan ini dirayakan setiap 3 Oktober dan menjadi momen penting bagi para pengikut Fransiskus untuk memperbarui komitmen mereka dalam mengikuti teladan hidup sang santo.

Transitus lebih dari sekadar peringatan wafat; ia adalah perayaan perjalanan hidup Fransiskus yang penuh cinta kasih, kesederhanaan, dan pengabdian kepada Tuhan. Fransiskus melihat kematian sebagai Saudari Maut, yakni transisi dari kehidupan duniawi menuju kehidupan kekal bersama Tuhan. Dalam perayaan Transitus, biasanya diadakan ibadat khusus, renungan, dan pembacaan kisah hidup Fransiskus. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain:
- Ibadat khusus yang dipimpin oleh pastor atau frater Fransiskan, disertai pembacaan kisah hidup dan pesan Fransiskus.
- Refleksi mendalam tentang kehidupan Fransiskus serta penerapan nilai-nilai Injil dalam keseharian.
- Pembacaan ayat-ayat Kitab Suci yang relevan dengan kehidupan dan Transitus
- Prosesi dengan membawa lilin sebagai simbol terang Kristus (di beberapa paroki atau komunitas Fransiskan).
Dengan memperingati Transitus Santo Fransiskus Asisi, umat Kristiani dapat semakin memahami makna kehidupan dan kematian serta meneladani semangat Fransiskus dalam menghidupi iman dan melayani sesama.
Saya pribadi merasakan betapa menegangkan situasi di Kapela San Damiano kala itu. Peristiwa Transitus sedikit banyak mirip dengan detik-detik akhir hidup Yesus di kayu salib: Yesus telanjang dada, tergantung lemah, tubuhnya penuh luka cambukan, tangan dan kaki tertembus paku, lambung tertikam tombak Longinus—kepala algojo Romawi. Santo Fransiskus Asisi pun memperlihatkan gestur yang relatif sama. Kita ketahui, Santo Fransiskus adalah orang suci yang menerima karunia stigmata, yaitu luka-luka Kristus. Dengan penuh kesucian, ia telanjang dada, terbaring lemah di tengah-tengah para saudara. Betapa hancur hati mereka yang menyaksikan panutan terkasih terbaring lemah. Kehancuran hati para saudara Fransiskan tentu tak jauh berbeda dengan apa yang dialami Bunda Maria, Maria Magdalena, dan Rasul Yohanes di bawah kaki salib Yesus menjelang wafat-Nya.
Pengalaman Transitus Santo Fransiskus Asisi sejatinya mengajarkan kita untuk selalu menjadi abdi Kristus yang murni hingga Saudari Maut datang menjemput. Hanya dengan mengikuti Kristus secara radikal dan konsekuen, hidup seturut nasihat Injil, kita mampu mencapai kesempurnaan bersama Yesus Kristus dari Nazaret yang tersalib.
Penulis: FR. SIORUS EWAINAIBI DEGEI (Frater TOPER Paroki St. Petrus Mauwa)




