SETIAP HARI ADALAH ANUGERAH DARI ALLAH BAGI KITA SEMUA
Refleksi tentang Bersyukur, Beriman, dan Tulus dalam Hidup Sehari-hari
Dalam konteks refleksi ini, setiap kali kita membuka mata di pagi hari, kita menerima sebuah karunia ilahi: nafas yang baru dan hari baru. Tidak ada yang menjamin kita akan bangun, bernapas, dan hidup lagi hari ini. Maka, setiap hari adalah anugerah dan hadiah kasih dari Allah yang tidak pernah habis. menghayati hari demi hari sebagai anugerah, dengan itu setiap kita dipanggil untuk hidup dalam syukur, iman, dan ketulusan. Dalam refleksi ini akan mengguraikan beberapa dasar pemikiran yang menjadi pokok utama dalam penulisan refleksi ini.
Bersyukur
Hidup adalah suatu anugerah yang harus dijaga, dilindungi, dipelihara, dan dimaknai dengan penuh syukur. Bersyukur atas semua kasih karunia yang diberikan kepada setiap kita dengan penuh bijaksana dan rendah hati. Kasih-Nya mengajak setiap kita untuk bertanggung jawab atas semua kebaikan yang diberikan kepada kita dengan kasih. Dalam konteks bersyukur ini, dimana Surat Paulus Yang Pertama Kepada Jemaat di Tesalonika menegaskan bahwa; “Bersyukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah dalam Kristus Yesus bagi kamu” (lih. 1Tes 5:18). Kutipan Surat Paulus ini, memberikan arah pada kehidupan kita, dan ini merupakan suatu anugerah yang sangat istimewa bagi setiap kita untuk disyukuri dan dirayakan dalam setiap kehidupan kita di komunitas, keluarga, lembaga dan pribadi.
Maka itu, bersyukur berarti menjadikan diri pribadi kita yang rendah hati, yang sadar bahwa hidup bukan hasil usaha kita semata, melainkan kemurahan dan kebaikan Tuhan Allah dalam segala hal di dunia ini. Dunia yang dipenuhi oleh berbagai macam tantangan dan kesibukan, kadang kalah kita seringkali lupa bahwa segala sesuatu yang kita miliki dalam hidup yaitu; waktu, kesehatan, orang-orang yang di kasih merupakan pemberian dari Allah. Dan kadang kalah lupa diri untuk bersyukur bukanlah sekadar sikap sopan, melainkan tanggapan iman yang sejati. Lebih lanjut dimana Paus Fransiskus mengingatkan kita melalui ensiklik Evangelii Gaudium bahwa: Seorang Kristen sejati tidak pernah kehilangan rasa syukur karena mengetahui bahwa segala sesuatu adalah rahmat (lih. EG, 276).
Artikel di atas mengingatkan setiap kita untuk mengetahui rahmat Allah itu dan di praktekkan dalam setiap konteks kehidupan kita dengan penuh syukur, dan menjalani setiap panggilan kita dengan penuh rendah hati dan bijaksana dalam setiap aspek kehidupan kita secara nyata. Dan menghasilkan buah-buah kebaikan Allah dalam hidup bersama dengan penuh rendah hati dan membangkitkan rasa persaudaran, meringkan beban hidup, serta membangun rasa solidaritas dengan penuh syukur. Bersyukur atas kehidupan bersama dan membangun nilai solidaritas sejati dalam mengemban misi bersama di dunia ini. Sehubungan dengan urian di atas, lebih jauh di tegaskan oleh Paulus melalui suratnya kepada Jemaat di Roma, mengajak setiap kita untuk bersyukur dan “Bersukacitalah dalam pengharapan, dan bersabarlah dalam setiap kesesakan dan bertekunlah dalam doa” (lih. Rm 12:12). Artinya bahwa bersyukur atas kebaikan Allah dan Kasih-Nya kita semua dapat belajar bersyukur dan mencintai sesama kita. Karena setiap hari dalam hidup kita adalah untuk bersyukur atas kebaikan dalam hidup kita ini.
Beriman
Beriman berarti percaya kepada Allah sepenuhnya secara tulus dan mempercayakan semua kehidupan kepada Allah sebagai sumber penyelenggaraan Ilahi. Dan menerima setiap kehidupan, bahkan hari sebagai suatu anugerah yang berarti bahwa hidup dalam iman percaya kepada Tuhan dan Dia selalu menyertai, bahkan di saat kehidupan kita merasa berat dan sulit atau tidak pasti penyelenggara Ilahi selalu memberikan anugerah dan semangat yang tak pernah pudar bagi setiap kita di dunia ini. Berdasarkan itu, beriman berarti memberikan diri untuk membangun keheningan bersama-Nya dan memberikan kesempatan untuk bersyukur, serta menyatakan cinta dan kepercayaan yang tulus kepada Tuhan sumber keselamatan kita.
Berkaitan dengan konteks pembahasan ini, lebih rinci ditekankan dalam Injil Lukas Yesus berkata: Berdirilah dan pergilah imanmu telah menyelamatkan engkau (lih. Luk 17:19). Pesan Injil ini dapat memperlihatkan tindakan belas kasih yang dapat menyembuhkan dan menguatkan mereka yang lemah sebagaimana Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta dan satu orang yang datang bersyukur kepada-Nya dan Yesus berkata imanmu telah menyelamatkan engkau sebagaimana ditekan dalam Injil di lukas di atas. Ini merupakan salah satu bukti nyata beriman. Dalam konteks ini, dokumen Konsili Vatikan II melalui Gaudium et Spes menuliskan bahwa; Setiap manusia hanya menemukan dirinya sepenuhnya melalui pemberian dirinya secara tulus kepada Allah (lih. GS 10), dan ditegaskan pula melalui Kitab Amsal dalam konteks iman itu adalah; “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri” (Bdk. Amsal 3:5).
Kutipan dokumen Konsili Vatikan II dan Kitab Suci di atas dapat menekankan pada dimensi iman. Artinya bahwa iman menuntut penyerahan diri secara total dan percaya bahwa rencana Allah lebih besar dari pemahaman kita sendiri. Maka setiap tantangan harian bukanlah suatu beban hidup, melainkan bagian dari rencana kasih Allah yang sedang digenapi. Karena kasih-Nya hadir sebagai tanda belas kasih yang dapat menguatkan setiap pribadi kita dalam hidup ini, dan kita diajak untuk percaya kepada-Nya dengan sepenuh hati.
Tulus
Setiap manusia dipanggil untuk hidup tulus dan bijak dalam bertindak dan berlaku adil dengan penuh rendah hati dan menjadi teladan bagi sesama yang lain, berdasarkan konteks hidup sehari-hari dengan hati yang murni. Tulus adalah hidup sebagai pribadi yang tulus, artinya menghadapi setiap hari dengan ketulusan hati, tanpa kepura-puraan atau pamrih. Orang yang tulus mencintai tanpa syarat, bekerja tanpa mencari pujian, dan melayani dengan sepenuh hati. Berhubung dengan aspek ini, dimana Injil Matius mempertengahkan dalam dimensi ini yaitu: Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah (lih. Mat 5:8). Disandingkan dengan pandangan Paus Benediktus XVI melalui ensikliknya Deus Caritas Est menekankan bahwa: Hati yang melihat adalah hati yang tahu memberi, hati yang tahu mencintai. Ketulusan tumbuh dari kasih yang sejati (lih. DCE 31).
Oleh karena itu, kutipan Injil Matius dan pesan Paus di atas merupakan suatu pesan moral bagi setiap kita di dunia ini, karena ketulusan hati menjadi cara kita untuk menghidupi setiap anugerah kasih Allah itu secara nyata dalam keluarga, komunitas, lingkungan masyarakat, dan tempat kerja serta tempat dimana kita hidup dan berada. Karena nilai ketulusan hati akan menghadirkan sukacita dan harapan yang baru dalam kehidupan bersama serta membawa kedamaian dan keadilan serta menghadirkan sukacita kedamaian bagi semua orang secara tulus dan ikhlas.
Dalam nasihat apostolik evangelii Gaudium Paus Fransiskus berkata dan mengajak setiap kita untuk bersukacita dalam Injil yang menghidupkan setiap komunitas para murid adalah sukacita misionaris (lih. EG 21). Artikel ini lebih khusus menyerah kepedulian kita untuk melakukan semua hal itu demi memuji dan memuliakan kemuliaan Allah dalam setiap kehidupan kita dengan penuh tulus dan bijaksana. Dengan demikian semua yang kita lakukan didasari oleh atas kasih, dan sukacita supaya orang lain dapat merasakan sukacita yang sama dengan tulus. Agar setiap pribadi manusia dapat mengetahui setiap kebaikan Allah itu dalam hidup sebagai yang benar dan baik untuk dijalani serta dimaknai secara tulus dan ikhlas.
Kesimpulan
Di akhir tulisan ini, hidup tidak selalu mudah. Namun, dalam setiap hari yang diberikan oleh Tuhan, menawarkan suatu kesempatan kepada setiap kita untuk bertumbuh dalam iman dengan penuh syukur dan tulus mencintai Allah dengan sepenuh hati. Maka itu, kita semua dipanggil untuk merayakan setiap hari sebagai suatu anugerah, bukan sekadar rutinitas. Seperti yang dinyatakan dalam dokumen Konsili Vatikan II melalui Lumen Gentium menekankan bahwa setiap: “Umat beriman dipanggil untuk menguduskan dunia dari dalam, seperti ragi yang mengembangkan adonan” (lih. LG 11). Pesan dokumen Konsili Vatikan II ini, mengingatkan bahwa setiap hari adalah kesempatan untuk menjadi terang dan garam dunia bagi sesama yang lain, karena setiap hari adalah anugerah yang terindah bagi kita semua untuk disyukuri dengan hati yang tulus dan ikhlas.
Penulis : Fr. Yuven Migani Belau




