Filsafat Gabriel Marcel (1889-1973) cukup dekat dengan pemikiran Kierkegaard, Jaspers, dan Buber. Namun, ada perbedaan juga. Ia tidak langsung melibatkan agama dalam analisis eksistensialnya seperti Kierkegaard dan ia tidak pula menjauhkan agama dari refleksi filosofisnya seperti Jaspers. “Aku ini apa” selalu tinggal tema utama baginya. Secara spontan saya sudah tahu banyak tentang diriku, tetapi hal itu harus dipikirkan serta diolah lagi secara refleksif. Seperti halnya pada Jaspers, ia pun mengusahakan semacam orientasi dalam dunia -dalam bentuk suatu refleksi ilimah- untuk mengerti manusia, artinya dirinya sendiri. Namun, ilmu pengetahuan hanya menyentuh sebelah luar, hanya mencapai avoir (mempunyai) dan tidak sampai pada étre (Ada). Ilmu pengetahuan memilih suatu sudut pandangan objektif dan membiarkan subjek sebagai subjek di luar wilayahnya. Sambil bereksperimentasi, berpikir, dan berargumentasi, sang ilmuwan berusaha mencari hubungan antara fenomen-fenomen yang diamati. Kadang kala hal itu tidak berhasil baik sehingga akal budi menghadapi suatu ketidakeocokan dalam hubungan antara fenomen-fenomen dan pengertian rasional. Hal itu oleh Marcel disebut “problem”. Akan tetapi, setiap problem bisa dipecahkan dan memang sepanjang perkembangan ilmiah sudah banyak problem mendapat pemecahannya, seperti misalnya problem-problem di bidang teknik dan kedokteran. Masih ada problem yang sekarang belum dipecahkan, tetapi dapat diharapkan bahwa di masa mendatang akan ditemukan pemecahannya, termasuk juga penyakit seperti kanker atau AIDS[1].
Manusia sebagai subjek sesungguhnya tidak terjamah oleh refleksi ilmiah. Dan saya ini Terutama adalah subjek. Apakah barangkali suatu refleksi filosofis dapat memberikan saya suatu kejelasan tentang diri saya? Bertentangan dengan refleksi ilmiah, refleksi filosofis semacam itu tidak terarah keluar, melainkan ke dalam. Refleksi filosofis itu terdiri dari introspeksi, permenungan, recueillement, berefleksi tentang diri saya atas dasar situasi saya. Bagi Marcel, berfilsafat adalah menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam apa saja yang termuat dalam situasi kita sebagai orang yang bereksistensi. Filsafat tidak dianggapnya sebagai suatu pembuktian intelektual, melainkan sebagai pilihan yang bermakna dan kesaksian yang mencipta. “Bermakna” itu, bagi Marcel, terwujud apabila situasi-situasi fundamental saya melibatkan seluruh eksistensi saya sehingga memuaskan budi serta pikiran dan mencapai kemungkinan optimalnya. Apa sebabnya, semuanya ini tidak dapat dibuktikan secara ketat dan objektif? Karena di sini kita menghadapi Ada, étre, tahap yang paling dalam. Pada tahap ini tidak muncul lagi problem-problem, melainkan misteri-misteri dengan kedalaman yang tak terselami. Sebagai contoh misteri dapat disebut: hubungan antara kesadaran dan Ada, relasi “aku” dengan tubuhku, “aku” dengan kehidupanku, “aku” dengan orang lain, “aku” dengan Tuhan. Misteri-misteri ini tidak minta untuk dipecahkan serta dilenyapkan. Misteri-misteri ini mengundang kita untuk mendalaminya dengan perenungan kita, penuh keheranan, dan cinta kasih. Dari misteri-misteri ini barangkali kita tidak memperoleh banyak kejelasan intelektual, tetapi kita akan diperkaya secara eksistensial Hidup manusia membutuhkan cinta[2].
Kehidupan semakin berwarna atau berwarni ketika ada cinta. Dalam memaknai realitas hidup manusia tidak terasa kosong dan hampa kalau ada cinta. Dengan cinta hidup semakin bermakna. Tujuan manusia membutuhkan cinta hanya satu yakni dalamnya mempunyai harapan. Saya teringat lagi, sambutan terakhir dari Pater Neles dalam acara Dies STFT Fajar Timur yang ke-51 “ Kita mesti beriman dan mempunyai harapan, karena Roh yang satu dan sama akan membimbing generasi mendatang”. Kalau dikaitkan dengan pemikirannya Gabriel, soal kemungkinan ultim manusia yakni cinta dan harapan sedikit masuk akal di pemikiran karena ini juga berkaitan dengan panggilan manusia yang harus dijawab secara eksistensial. Dengan ini setiap generasi manusia tidak bisa menghindari masalah namun menghadapi masalah sesama manusia dalam penuh cinta kasih. Memahami sesama dengan cinta kasih artinya sekaligus memahaminya dalam kebebasan bersama. Dengannya tidak merasa dikucilkan karena individual merasa terlibat dan mampu memahami orang lain yang menderita, dan saling mengaderkan dan melengkapi dengan cinta kasih yang transenden. Cinta kasih dan harapan yang besar itu membentuk hubungan manusia yakni kebersamaan akan kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan oleh manusia yang tidak memaknai cinta Kasih untuk semua orang. Dengan kata lain manusia itu akan lebih memahami otonominya yang bebas dalam cinta kasih itu sendiri.
Evaluasi Kritis Berkaitan dengan Kondisi Pastoral Kemanusian di Papua
Letak Kekuatan
Siapakah aku?, Pemikiran Gabriel Marcel, menghadapi masalah dengan tidak pesimisme. Manusia harus mampu menghadapi masalah sampai tuntas, dan tidak menyerah begitu saja namun berjuang keras walau ada tantangan kelemahan manusia. Pemirannya juga mengajak semua manusia memaknai sejarah masa kelam atau silam yang terlewati, karena menurutnya juga pengalaman adalah guru yang baik dan terbaik untuk manusia. Harapan adalah suatu kepastian yang melampaui ketidakpastian namun meniadakan anggapan, kepastian yang disetujui, dibolehkan, kepastian yang mungkin merupakan sebuah doa tetapi tidak dalam penaklukkan. Harapan yang dimiliki manusia dapat meningkatkan semangat hidup, dan mempererat hubungan interpersonal karena harapan menimbulkan rasa saling memiliki dalam hal kemanusiaan yang nyata atau konkret dalam realitas hidup harian manusia. Dan Filsuf ini ia memilih jalan tengah, untuk menjalin hubungan dengan Tuhan, yakni Iman yang mempunyai harapan satu Roh yang menjelma dalam diri manusia. Dan dengan itu setiap manusia bisa dapat menjadi dirinya sendiri.
Letak Kelemahan
Saya tidak setuju jika, filsafat tidak anggap suatu pembuktian intelektual, melainkan sebagai pilihan yang bermakna dan kesaksian yang mencipta. Kalau filsafat dilihat sebagai sebuah pilihan maka kedalaman berpikir manusia hanya sebagian saja, dalam hal antara bermakna dan kesaksian yang mencipta. Untuk menciptakan sesuatu manusia hendaknya terlebih dahulu berpikir lalu melihat hasil apakah bermakna lalu menguraikan kesaksiannya sebagai satu proses yang mencipta.
Untuk Pastoral Kemanusiaan di Papua
Melayani umat Papua mesti membutuhkan cinta, kesetiaan, dan memberikan harapan hidup. Untuk sementara atau situasi terkini para gembala hati kecil untuk melayani saya pikir sudah. Para Pastor di Papua sudah memberikan pelayanan dengan cara masing entah metode kePapuan atau metode ke Indonesiaan. Gembala yang setia menyuarakan di publik melalui tulisan, hidup dan karya adalah Mgr. Jhon Philip Saklil dan seorang Pastor Neles Tebay Pr serta beberapa Pastor lainnya, tetapi mereka sudah tiada dari bumi Papua. Selama hidupnya mereka berusaha memperdamaikan Papua dan Indonesia, namun kesetiaan untuk duduk bersama dialog tidak ada, nilai kesetiaan dimata Negara Indonesia sudah rancu. Pada hal menurut Gabriel kesetiaan merupakan suatu jalan masuk untuk kodrat eksistensi manusia. Kesetiaan membantu orang untuk membentuk hidupnya secara bertanggungjawab dan benar. Kesetiaan ditemukan dalam persahabatan dan dalam cinta, yang mempunyai daya mengatasi “objektivitas” dari yang lain. Hal ini akan menghasilkan suatu tingkat baru dalam keakraban atau intimitas.
Dengan demikian sebetulnya manusia juga meneguhkan pengakuannya akan Ada melalui kesetiaan sejauh manusia menjawab Nilai pribadi manusia terwujud dalam relasi dengan Ada atau Allah dan sesama manusia yang terungkap dalam kesetiaan. Dari Pemikirannya ini, kebijakan pastoral yang mesti ambil adalah kembali menanamkan nilai cinta kasih, kesetiaan, rendah hati, dan mempunyai harapan kepada umat di Papua, yang sudah lama dikuburkan oleh kolonial Indonesia. Mempunyai tindakan melawan dalam diri adalah pilihan untuk membongkar kedangkalan berpikir otak Indonesia dengan ini Papua menemukan kedalamannya nilai-nilai hidup yang sudah bungkam selama ini. Kondisi pastoral Papua agak tidak terarah karena ada otak ke Indonesiaan. Gembala-gembala dalam hal ini belum menjadi Papua yang sesungguhnya.
Penulis: Fr. Sebedeus Mote
[1] Dikutip dari, Sap & Bahan Ajar Filsafat Manusia,”STFT Fajar Timur”, (Paragraf 1).hal 51
[2] Dikutip dari, Sap & Bahan Ajar Filsafat Manusia,”STFT Fajar Timur”, (Paragraf 2). hal 51