Majalah Gaiya

MEMAHAMI MODEL SINTESIS TEOLOGI KONTEKSTUAL

Oleh: Fr. Aris Yeimo

Definisi Model Sintesis

Model berarti gambaran, alur berpikir sederhana, atau skema singkat untuk menerangkan sebuah kenyataan atau peristiwa kehidupan. Model sintesis menempatkan Injil dan kultur pada level yang sejajar dan dialogal. Model ini bukan sekedar kompromi yang ditempatkan sejajar tapi tidak pernah bertemu, tapi juga bukan saling menyerap atau melenyapkan.

Contoh Model Sintesis

Kosuke Koyama menampilkan model sintesis ketika ia memberikan pewartaan  kepada petani di Thailand tentang Matius 15:21-28. Kosuke tidak lagi memusatkan perhatian kepada “iman” perempuan yang ditolak oleh Yesus. Kosuke mengangkat “kasih yang kuat dari seorang  perempuan” terhadap putrinya yang sakit. Kasih itu menjadi akar kegigihan dan ketekunannya. Petani Thailand dapat memahami kasih keibuan karena mereka juga memiliki pengalaman yang sama.  Mereka memiliki ibu yang juga memperjuangkan hidup mereka. Mereka sendiri juga adalah ibu-ibu yang berjuang bagi anak-anak mereka. Berdasarkan pengalaman keibuan mereka, kisah Yesus tersebut dapat diterima oleh common sense mereka. Dalam konteks ini, orang yang beriman adalah orang yang berjuang atau berdaya upaya untuk hidup mereka. Untuk menggaris-bawahi unsur perjuangan tersebut, Kosuke Koyama merujuk ke perjalanan padang gurun dalam Ulangan 8:1-4. Masa empat puluh tahun dan situasi padang gurun adalah gambaran semua kemungkinan yang dapat dialami dan dipilih oleh manusia untuk menentukan orientasi hidupnya (Elwood, 2006:99). Krisis di tengah pengalaman padang gurun yang penuh kesulitan dan keterbatasan mengundang orang untuk memperjelas arah kehidupannya. Perempuan dalam Matius 15:21-28 memperoleh hidup bagi anaknya dari Yesus karena ia mendekat ke Yesus, Sang Hidup.

Contoh dari Kosuke Koyama menunjukkan dua unsur dari model sintesis, yaitu: pewartaan tentang Yesus, Sang Hidup dan pengalaman perjuangan dari masyarakat untuk memberi makna kehidupan mereka. Pengalaman perjuangan menjadi jelas ketika seorang pewarta yang akan menafsirkan Yesus sebagai Sang Hidup memberi perhatian kepada pengalaman krisis yang dialami oleh Jemaatnya. Penafsiran kristiani mengangkat atau memberi nilai kepada aspek perjuangan, tapi juga sekaligus memurnikan motivasi perjuangan tersebut. Motivasi perempuan dalam Matius 15:21-28 adalah anaknya, demi anaknya, atau bersifat altruistis, bukan egosentris. Mereka yang memperjuangkan hidup orang lain pada akhirnya akan bertemu dengan Sang Hidup itu sendiri, yaitu Yesus.

Contoh kedua disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam adorasi pada tanggal 26 Maret 2020. Paus Fransiskus menggunakan teks Mrk. 4:35-41 (bdk. Mat. 8:23-27; Luk. 8:22-25). Paus Fransiskus menjadikan pertanyaan para murid “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” (Mrk. 4:38) sebagai pertanyaannya sendiri ketika ia melihat krisis di tengah ketakutan dan kerusakan akibat pandemi Covid-19 di Italia dan di lebih dari 200 negara yang terkena wabah. Covid-19 menyebabkan lebih dari dua juta orang menderita sakit dan lebih dari seratus ribu orang meninggal dunia. Wabah Covid-19 membawa dampak susulan dalam bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Sabda Yesus “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” (Mrk. 4:40) menjadi titik pijak peneguhan oleh Paus Fransiskus. Paus Fransiskus mengundang orang beriman untuk tetap berani berharap dan bekerja sama menghadapi wabah covid-19.

Dua contoh di atas masih disebut sebagai temuan yang menjadi bahan renungan. Seseorang disebut berteologi ketika ia menjadikan temuan dari contoh di atas, yaitu “senantiasa berjuang dengan penuh pengharapan karena yakin akan penyertaan Allah” memenuhi kriteria: (1) ilmiah, (2) metodis, dan (3) sistematis.

Dasar Ortodoksi Teologi Kontekstual

Bevans menyatakan bahwa ada tiga kriteria yang mendasari ortodoksi sebuah hasil penelitian teologi (Bevans, 2009:23): Kriteria pertama: sebuah rumusan pernyataan iman yang kontekstual hendaknya searah-sejalan dengan pernyataan iman yang sudah diterima oleh Gereja. Sebagai contoh, rumusan iman Gereja awali yang berasal dari pengalaman mereka menyatakan bahwa “Allah adalah kasih” (1 Yoh 4:8), maka semua rumusan hasil penelitian teologi yang berlawanan dengan pernyataan iman itu bukanlah ekspresi teologis Kristiani. Temuan dari dua contoh di atas, yakni tetap memiliki pengharapan di tengah perjuangan dapat diterima karena selaras dengan rumusan hidup kristiani. Kriteria kedua: pelaksanaan rumusan iman hasil penelitian teologi tersebut sejalan dengan apa yang telah dilakukan oleh Gereja (kriteria ortopraksis). Bertitik tolak dari dua contoh di atas, ekspresi yang mengajak orang agar putus asa disebut tindakan yang jelas-jelas melawan iman kristiani dan tidak dapat disebut ortodoks meskipun mungkin alasan atau pemaknaannya sangat berarti dalam sebuah konteks kultural tertentu. Kriteria ketiga: adanya penerimaan dari Umat Allah. Kedua contoh di atas mendorong umat beriman untuk tetap mencari jalan keluar. Ajakan tersebut adalah hal wajar di tengah hidup kristiani. Orang yang teguh imannya akan menggunakan akal budinya untuk menemukan pemecahan masalah yang dihadapi bersama. Kriteria ini menunjukkan bahwa teolog dan teologi berperan untuk melayani Jemaat.

 

Referensi

Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia, Penterj. B.A. Abednego (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).

Stephen B. Bevans, Models of Contextual Theology, Edisi ke-2 (New York: Orbis Books, 2009).

 

Keuskupan Timika

Official WEB Keuskupan Timika di kelola oleh Komisi Komunikasi Sosial

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button