Majalah Gaiya

KISAH DI BALIK TIRANI KEKUASAAN RELIGIUS

Beberapa Buah Pikiran Tentang Jumat Agung

Jumat Agung yang setiap tahun kita rayakan, tidak melulu berisikan peristiwa spiritual tentang pengorbanan Yesus di kayu salib. Di balik narasi keselamatan dan kasih, tersembunyi pula kisah tentang kekuasaan, ketakutan, dan manipulasi yang dijalankan oleh otoritas religius. Ia adalah cermin dari institusi agama yang menanggalkan panggilannya untuk menjadi pelayan kebenaran dan keadilan, demi sebuah tirani saat kekuasaan lebih dipertahankan daripada kebenaran.

Kisah Jumat Agung dimulai dari ketegangan antara Yesus dan para pemimpin agama Yahudi pada masanya. Selama tiga tahun pelayanan-Nya, Yesus menyuarakan pesan Kerajaan Allah yang melampaui hukum-hukum ritual dan seremoni adat istiadat keagamaan yang kaku. Ia berkhotbah tentang kasih yang melampaui batas, pengampunan yang tak bersyarat, dan keadilan yang menentang kemapanan. Ia menyentuh orang-orang yang dikucilkan: perempuan (dan laki² teman kencannya) yang kedapatan berzina, pemungut cukai, penderita kusta, dan para pendosa. Ia membalikkan meja-meja penukar uang di Bait Allah dan menyebut rumah ibadah telah menjadi “sarang penyamun”. Semua tindakan Yesus ini bukan sekadar kritik terhadap praktik hidup di tengah umat Allah, tapi mesti dilihat sebagai sebuah ancaman langsung terhadap sistem kekuasaan.

Para imam kepala, ahli Taurat, dan orang-orang Farisi melihat gerakan Yesus sebagai ancaman serius. Bukan hanya karena popularitas-Nya meningkat, tetapi karena Yesus membongkar fondasi religius yang selama ini mereka gunakan untuk mengatur masyarakat. Ingatlah, bahwa kekuasaan religius tidak hanya bersifat spiritual, melainkan juga politis. Para pemimpin agama adalah perantara antara bangsa Yahudi dan penjajah Romawi. Mereka punya peran ganda: menjaga stabilitas keagamaan sekaligus sosial-politik. Ketika Yesus mulai menarik perhatian massa dengan ajaran-Nya tentang Kerajaan Allah, para pemimpin agama khawatir: bukan hanya tentang ajaran, tapi tentang kekuasaan.

Penginjil Yohanes mencatat, bahwa Imam Besar Kayafas pernah berkata, “Lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa.” Ini adalah pernyataan politis, bukan spiritual. Ia berbicara atas nama stabilitas, tetapi sebenarnya demi mempertahankan struktur kekuasaan yang menguntungkan mereka. Dalam upaya mempertahankan posisi mereka, para pemimpin agama bersekongkol dengan penguasa kolonial, yaitu Pilatus. Ironisnya, otoritas religius—yang seharusnya menjadi pembela kebenaran dan pelindung umat—justru menjadi arsitek utama dalam persekongkolan yang menjatuhkan Yesus.

Pengadilan terhadap Yesus adalah bentuk nyata dari tirani religius. Ia ditangkap malam hari, diadili secara sembunyi-sembunyi, dan diinterogasi tanpa kehadiran saksi yang sah. Tuduhan terhadap-Nya terus berubah-ubah: menghujat Allah, mengaku sebagai Raja, menyesatkan bangsa. Tak satu pun tuduhan itu bisa dibuktikan dengan konsisten, namun semua diarahkan untuk satu tujuan: membungkam suara yang tak bisa dikendalikan. Ketika mereka menyadari bahwa hukum Yahudi tak dapat menjatuhkan hukuman mati, mereka membawa Yesus ke hadapan Pilatus dan menggiring tuduhan politik: bahwa Ia mengklaim sebagai Raja dan dengan demikian menentang kekuasaan Kaisar.

Di titik ini, terlihat jelas bagaimana agama bisa menjadi alat kekuasaan ketika kehilangan roh kebenaran. Para pemimpin agama bukan hanya menggunakan kekuasaan spiritual untuk menekan, tetapi juga memanipulasi kekuasaan politik agar kehendak mereka tercapai. Mereka menekan Pilatus dengan kata-kata tajam: “Jika engkau membebaskan Dia, engkau bukan sahabat Kaisar.” Di bawah ancaman politik, Pilatus menjadi tidak berdaya dan menyerahkan Yesus untuk disalibkan, meski dalam hatinya ia tahu bahwa orang ini tidak bersalah. Kekejaman tirani religius mencapai puncaknya di atas kayu salib. Bukan hanya penderitaan fisik yang Yesus alami, tetapi juga penolakan total dari sistem religius yang seharusnya mengenali-Nya. Di bawah salib, para imam mengejek-Nya, berkata, “Jika Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!” Mereka menuntut mukjizat, tetapi hati mereka sudah tertutup. Mereka bukan mencari kebenaran, melainkan pembenaran untuk mempertahankan tatanan yang mapan.

Ironisnya, dalam tindakan mereka untuk mempertahankan agama, mereka justru membunuh Sang Sumber Iman. Dalam upaya mereka menjaga kekudusan Bait Allah, mereka menyingkirkan Pribadi yang adalah Bait itu sendiri. Dalam menjaga kemurnian hukum, mereka menyalibkan Firman yang menjadi manusia. Inilah ironi terbesar dalam sejarah iman manusia—bahwa agama bisa menjadi tirani jika tidak dibarengi dengan cinta, pengampunan, dan kerendahan hati. Jumat Agung menjadi peringatan bukan hanya tentang penderitaan Yesus, tetapi juga tentang bahaya institusi agama yang kehilangan arah. Ini bukan hanya cerita masa lalu. Sepanjang sejarah, banyak yang disalibkan oleh sistem religius: dari para nabi yang dibunuh karena menyuarakan kebenaran, hingga umat biasa yang disingkirkan karena berbeda pandangan.

Dalam konteks modern, kita melihat bagaimana lembaga-lembaga keagamaan kadang lebih sibuk menjaga struktur dan kekuasaan ketimbang merangkul yang tertindas, menyuarakan keadilan, dan menghadirkan kasih.

Namun, Jumat Agung juga menyimpan harapan. Di tengah kebisuan sistem, di tengah pengkhianatan dan pengabaian, salib menjadi simbol kebangkitan nilai yang tidak bisa dibunuh: kebenaran, pengampunan, dan kasih yang tak tergoyahkan. Ketika tirani religius menyalibkan tubuh Yesus, mereka tidak tahu bahwa justru lewat salib itu, kekuasaan mereka akan diruntuhkan dari dalam. Kebangkitan pada hari ketiga menjadi pernyataan bahwa tidak ada sistem kekuasaan, sekuat apapun, yang bisa membungkam kebenaran untuk selamanya.

Jumat Agung adalah kisah tentang bagaimana agama bisa menjadi alat penindas ketika kehilangan jiwanya. Tapi ia juga adalah kisah tentang kasih yang tetap hidup bahkan ketika institusi membungkamnya. Sebuah peringatan sekaligus panggilan: agar iman tidak dibangun di atas kekuasaan, tetapi di atas pengorbanan dan pelayanan. Bahwa gereja, masjid, sinagoga, dan semua rumah ibadah seharusnya menjadi tempat di mana kebenaran ditegakkan bukan demi kekuasaan, tapi demi kasih.

Dan karena itu, Jumat Agung tetap relevan. Bukan sekadar hari libur keagamaan, tetapi peringatan mendalam bagi setiap pemimpin spiritual, setiap lembaga agama, dan setiap orang beriman: bahwa ketika kita mulai mencintai struktur lebih dari manusia, hukum lebih dari kasih, dan kekuasaan lebih dari kebenaran kita sedang berjalan ke arah tirani yang sama yang pernah menyalibkan Sang Anak Manusia *** SAUL PAULO WANIMBO

Keuskupan Timika

Official WEB Keuskupan Timika di kelola oleh Komisi Komunikasi Sosial

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button