Majalah Gaiya

ORANG TUA KATOLIK WAJIB MEMBAPTIS ANAK SECARA KATOLIK: SEBUAH ANJURAN KANONIS

Oleh: Fr. Aris Yeimo

Ada dua pertanyaan yang sangat menggelitik saat saya berjumpa dan berdiskusi dengan beberapa teman dan orang tua di beberapa tempat di Papua. Dua pertanyaan itu adalah:

  1. Apakah keabsahan perkawinan orang tua menjadi syarat untuk meminta pembaptisan anak mereka?
  2. Jika orang tua berpisah atau bercerai, apakah salah satu boleh membaptiskan bayinya tanpa persetujuan pasangannya yang lain?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya bersifat yuridis-prosedural, tetapi juga menyangkut refleksi filosofis-teologis mengenai hakikat anugerah, kewenangan orang tua, dan kebaikan bersama (bonum commune) dari anak sebagai subjek yang akan menerima sakramen.

Seputar Diskusi

Pertama-tama, perlu diakui bahwa pendekatan evangelisasi yang dijalankan oleh para misionaris Katolik awal di Papua merepresentasikan suatu sintesis dialektis antara deposit iman apostolik dan praksis karitatif yang progresif. Di satu sisi, mereka bersikap tegas dalam menjaga serta mengajarkan warisan iman (depositum fidei) apostolik beserta nilai-nilai esensial kekatolikan kepada orang Papua.
Di sisi lain, manifestasi pelayanan mereka justru menunjukkan kelembutan dan kreativitas yang tinggi melalui karya-karya karitatif seperti pendirian sekolah, asrama, dan rumah sakit, serta program pemberdayaan umat/masyarakat melalui pelatihan keterampilan praktis seperti peternakan, pertanian, pertukangan, melatih keahlian menjahit, dan sebagainya. Kontribusinya amat terasa dalam berbagai dimensi kehidupan orang Papua saat ini.

Berdasarkan pengalaman diskusi mengenai kedua pertanyaan di atas, saya menemukan salah satu contoh ketegasan para misionaris yang sudah menjadi semacam cerita turun-temurun dari para orang tua kita, yaitu dalam hal pembinaan para calon baptis (katekumen). Beberapa orang tua yang mengalami secara langsung model pembinaan para misionaris mengatakan bahwa ada berbagai jenis syarat yang bersifat imperatif yang harus dipenuhi oleh para calon baptis, meliputi: menghafal doa-doa pokok Gereja, Sepuluh Perintah Allah, rajin mengikuti misa dan ibadat-ibadat tertentu, sudah kelas 4 SD, dan yang paling penting adalah orang tuanya “tidak bermasalah”.

Dari beberapa syarat yang diajukan di atas, pertanyaan mendasar lalu muncul: mengapa orang tuanya “tidak bermasalah” menjadi salah satu syarat untuk dibaptis? Bukankah dengan demikian para misionaris secara efektif “membatasi” akses anak kepada kasih karunia Allah melalui pembaptisan?

Secara ontologis, tentu saja intensi dari kebijakan ini bukanlah untuk menegasikan atau membatasi penyaluran rahmat ilahi. Menurut saya, ketegasan itu perlu diambil para misionaris mengingat dua hal krusial yang sesuai konteks saat itu, tetapi masih relevan untuk saat ini dan di masa mendatang:

  1. Penanaman Iman yang Otentik
    Para misionaris sungguh menyadari pentingnya menanamkan pemahaman iman Katolik yang otentik dan integral, yang berfondasikan pada tiga sumber iman Gereja Katolik: Tradisi Suci, Kitab Suci, dan Magisterium. Proses evangelisasi itu berjalan sambil mengakomodasi nilai-nilai baik dan benar yang telah diwariskan oleh leluhur tiap suku di Papua.
    Kontekstualisasi inilah yang menjadi fokus utama para misionaris, dengan tujuan akhir merealisasikan Gereja Katolik Papua yang bersifat inkulturatif (mewartakan iman dalam bahasa, nyanyian, dan tarian budaya lokal), akomodatif (membuka ruang bagi unsur-unsur kebaikan dan kebenaran yang telah diwariskan para leluhur), dan dialogis (terlibat dalam diskursus yang transformatif antara iman dan budaya).
  2. Penegasan Hakikat Sakramen Perkawinan
    Para misionaris bertujuan untuk menegaskan, baik secara eksplisit maupun implisit, hakikat ontologis dari sakramen perkawinan Katolik. Pada prinsipnya, perkawinan Katolik bersifat monogam (satu) dan indissolubilitas (tak terceraikan). Penegasan ini amat signifikan dan fundamental.
    Posisi ini sama sekali tidak mengimplikasikan suatu sikap pengabaian Gereja terhadap umat beriman yang terlibat dalam praktik poligami. Tidak sama sekali. Gereja tetap merangkul mereka dalam communio (persekutuan), namun ada batasan-batasan tertentu yang secara sakramental mengharuskan mereka untuk tidak dilibatkan. Batasan ini bukanlah bentuk eksklusi, melainkan konsekuensi logis-teologis dari mempertahankan integritas hakikat sakramen itu sendiri.

Dengan dasar itulah para misionaris secara ketat menetapkan syarat bagi para katekumen.

Jawaban Kanonis

Syarat-syarat pembaptisan kadang tergantung pada kebijakan pastoral pastor paroki. Berikut adalah jawaban secara yuridis-formal dari dua pertanyaan diskusi di atas:

  1. Keabsahan Perkawinan Orang Tua

Mengenai pertanyaan pertama, “Apakah keabsahan perkawinan orang tua menjadi syarat untuk meminta pembaptisan anak mereka?”
Persyaratan dalam Kan. 868 §1, yang sebenarnya sekadar dituntut demi halalnya pembaptisan, sama sekali tidak mencantumkan status perkawinan sah orang tua sebagai persyaratan untuk membaptiskan bayi. Jika hukum Gereja atau legislator tertinggi gerejawi tidak menetapkan persyaratan itu, maka tak seorang pun di bawahnya boleh menetapkannya secara sewenang-wenang atau sepihak. Padahal, hukum gerejawi harus dimengerti dan diaplikasikan menurut arti kata-katanya sendiri (bdk. Kan. 17).

Selain itu, Kan. 877 §2, yang mengatur pencatatan pembaptisan anak yang lahir dari ibu yang tidak menikah, memberikan insinuasi yang cukup jelas bahwa keabsahan perkawinan orang tua tidaklah dituntut oleh hukum Gereja sebagai persyaratan pembaptisan anak. Demikian juga, bayi yang dibuang atau ditemukan hendaknya dibaptis tanpa perlu menyelidiki siapa orang tuanya dan apakah orang tuanya hidup dalam perkawinan sah atau tidak. Penyelidikan saksama hanya dilakukan untuk memastikan bahwa bayi tersebut belum pernah dibaptis (Kan. 870).

  1. Persetujuan Salah Satu Orang Tua

Mengenai pertanyaan kedua, “Jika orang tua berpisah atau bercerai, apakah salah satu boleh membaptiskan bayinya tanpa persetujuan pasangannya yang lain?”
Kan. 868 §1, 1º menetapkan bahwa untuk pembaptisan bayi secara halal haruslah orang tuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka, atau yang secara legitim menggantikan orang tuanya, menyetujuinya. Ketentuan ini berlaku untuk membaptis bayi dalam keadaan biasa dan normal.

Dengan demikian, ada beberapa variasi makna dan aplikasi norma sebagai berikut:

  • Pertama, jika kedua orang tua adalah pasangan Katolik yang sungguh-sungguh ingin mewariskan harta iman kepada anaknya dan akan memberikan pendidikan kristiani kepadanya, tentunya keduanya menyetujui dan bahkan meminta dengan sukarela pembaptisan anak mereka (bdk. Kan. 226 §2; 774 §2; 793 §1; 835 §4; 851, 2º; 867 §§1–2; 868 §§1–3; 1137).
  • Kedua, meskipun kedua orang tua sama-sama Katolik, bisa saja terjadi satu pihak menyetujui pembaptisan bayi sedangkan pihak yang lain bersikap indiferen atau tidak setuju. Dalam situasi seperti ini, cukup salah satu dari kedua orang tua menyetujui pembaptisan bayinya.
  • Ketiga, dalam perkawinan campur (beda gereja atau beda agama), jika pihak non-Katolik bersikap indiferen, maka cukup pihak Katolik yang menyetujui pembaptisan itu. Sejak sebelum menikah, pihak non-Katolik sudah diberitahu bahwa pasangannya yang Katolik telah berjanji akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga untuk membaptis dan mendidik semua anaknya di dalam Gereja Katolik (lih. Kan. 1125, 2°).
  • Keempat, jika kedua orang tua sudah memercayakan bayi mereka untuk diasuh atau diadopsi oleh pasangan lain, maka pasangan yang mengasuh atau mengadopsi bisa memintakan pembaptisan tanpa memedulikan sikap atau pendapat orang tua kandung anak itu.
  • Kelima, jika kedua orang tua berpisah atau bercerai, cukup satu pihak saja yang mengajukan anaknya untuk pembaptisan, meskipun pasangan yang lain menentang atau menolaknya. Tentu saja, orang tua yang mengajukan pembaptisan diandaikan adalah pihak Katolik yang dipasrahi pengasuhan dan pendidikan religius anak oleh putusan Pengadilan Negeri pada akhir sidang perceraian. Orang tua ini juga memberi jaminan akan mendidik anaknya dalam agama Katolik dengan penuh tanggung jawab (Kan. 868 §1, 2º).

Jika sesudah perpisahan atau perceraian kedua orang tua sepakat untuk mengunjungi anak mereka di tempat pihak lain atau membawanya ke rumahnya, dan mereka juga sepakat untuk masing-masing memperkenalkan imannya kepada anak, maka pihak Katolik dapat membawa anak itu untuk pergi ke misa, menyiapkannya untuk penerimaan sakramen-sakramen, dan memberikan pendidikan iman Katolik, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya.

Sebaliknya, jika perpisahan atau perceraian diwarnai dengan konflik hebat, kemarahan, sakit hati, dan dendam di antara pasangan suami istri, kemudian anak mereka dipasrahkan kepada pihak yang non-Katolik atau anti-Katolik sementara pihak Katolik tinggal berjauhan dengan anak, maka akan sulit bagi pihak Katolik untuk membaptiskan anaknya. Dalam hal ini, pastor paroki sebaiknya menunda pembaptisan dan memberitahu alasannya kepada pihak Katolik (bdk. Kan. 868 §1, 2º).

Dalam bahaya mati, bayi hendaknya dibaptis tanpa menunda-nunda, meski pasangan yang lain tidak menyetujuinya (Kan. 867 §2; bdk. Kan. 868 §2). Keselamatan kekal jiwa anak jauh lebih penting daripada sakit hati ataupun kemarahan yang bisa muncul di antara pasangan suami istri sesudah baptis, yang notabene sebenarnya sudah berpisah atau resmi bercerai.

Penutup

Gereja Katolik tetap teguh pada prinsip tertinggi hukum Gereja, “Keselamatan jiwa adalah hukum utama” (salus animarum suprema lex). Gereja memahami baptisan bukan semata-mata sebagai tindakan manusia, melainkan sebagai tindakan Allah yang mendahului dan menguduskan manusia.

Dengan dibaptis, seorang anak dibersihkan dari noda dosa asal yang melekat pada setiap manusia sejak kelahiran dan dilahirkan kembali sebagai “ciptaan baru” dalam Kristus. Ia dimasukkan ke dalam kepenuhan kehidupan ilahi.

Secara ontologis, baptisan menganugerahkan character indelebilis, suatu meterai sakramental yang bersifat kekal. Meterai ini, yang dikenakan oleh Roh Kudus, menandai orang yang dibaptis sebagai milik Kristus (diinkorporasikan ke dalam Tubuh Mistik Kristus, yaitu Gereja) secara definitif dan membentuk dasar eksistensial bagi validitas penerimaan sakramen-sakramen berikutnya dalam perjalanan hidupnya dalam Kristus.

Hukum Gereja Katolik tetap konsisten menganjurkan bahwa anak wajib dibaptis secara Katolik. Bukan hanya karena baptis merupakan kewajiban setiap orang beriman Katolik, tetapi lebih dari itu, keselamatan jiwa lebih utama dari segalanya.

Bahan Bacaan

  • Kitab Hukum Kanonik
  • “Tanya Jawab Seputar Hukum Gereja” karya Pastor Dr. Alfonsus Tjatur Raharso
Allo
Author: Allo

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button