Majalah Gaiya

PAPUA BUKAN TANAH KOSONG, TETAPI ADA PEMILIKNYA: PERTIMBANGAN PROGRAM TRANSMIGRASI DAN FOOD ESTATE

Oleh: RD. Benyamin Magai

Dalam era pemerintahan Jokowi-Amin dan Prabowo-Gibran, wacana mengenai Papua sebagai pusat pertanian dan transmigrasi semakin mengemuka. Hal ini diungkapkan dalam jumpa pers oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman pada 23 Oktober 2024 di Istana Kepresidenan Jakarta. Dalam pernyataannya, beliau menyampaikan rencana ambisius untuk mengembangkan proyek food estate di Merauke, melibatkan ribuan anggota TNI, mahasiswa dari Papua, serta masyarakat Kalimantan untuk menggarap lahan seluas dua juta hektar. Proyek ini bertujuan untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja dan menciptakan lima puluh ribu lapangan kerja baru.

Namun, di balik harapan besar tersebut, ada sejumlah pertimbangan yang perlu dicermati. Proyek ini tidak hanya berpotensi meningkatkan ekonomi, tetapi juga harus memperhatikan hak-hak masyarakat setempat yang telah lama menguasai tanah mereka berdasarkan hukum adat.

Hukum Adat dan Hak Ulayat

Di Papua, hukum adat merupakan warisan budaya yang mendalam. Tanah di sini dimiliki oleh suku dan marga, dan hukum mengenai hak ulayat yang tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1960 menegaskan pentingnya pengakuan atas hak-hak ini. Tanpa menghormati hak ulayat, proyek food estate ini bisa memicu konflik dan protes dari masyarakat yang merasa haknya terabaikan.

Lingkungan Hidup yang Terancam

Proyek yang merambah lahan seluas dua juta hektar tentu membawa dampak lingkungan yang signifikan. Papua dan Kalimantan, yang dijuluki paru-paru Indonesia, berisiko mengalami kerusakan hutan yang masif. Di tengah upaya global untuk menanggulangi perubahan iklim, tindakan ini justru bisa memperburuk pemanasan global dan merusak ekosistem yang sudah rentan.

Menghargai Kemanusiaan dan Kearifan Lokal

Pemanasan global bukan hanya masalah lingkungan; ini juga menyangkut keberlangsungan hidup manusia. Dalam ensiklik “Laudato Si”, pemimpin Gereja Katolik sedunia, Paus Fransiskus menekankan bahwa merawat bumi adalah tanggung jawab kita bersama. Setiap tindakan yang kita ambil harus mempertimbangkan dampaknya terhadap semua makhluk hidup. Penebangan hutan demi proyek yang bersifat komersial tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam.

Jalan Menuju Solusi Bersama

Pemerintah perlu mendengarkan suara masyarakat Papua. Proyek strategis yang direncanakan harus melibatkan mereka dalam perencanaan dan pelaksanaan, agar dapat menemukan solusi yang saling menguntungkan. Hak-hak masyarakat Papua tidak boleh diabaikan, karena tanah ini bukanlah tanah kosong; ini adalah rumah bagi mereka.

Masyarakat Papua berhak atas pengakuan, perlindungan, dan partisipasi dalam setiap keputusan yang menyangkut tanah dan kehidupan mereka. Dengan melibatkan berbagai kalangan, kita bisa memastikan bahwa program-program pembangunan tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga menghormati hak asasi manusia dan kearifan lokal.

Dengan demikian, mari kita bersama-sama menjaga Papua sebagai tanah yang kaya akan budaya dan potensi, dan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil adalah untuk kebaikan bersama, tidak hanya bagi generasi saat ini, tetapi juga untuk masa depan yang lebih baik.

Keuskupan Timika

Official WEB Keuskupan Timika di kelola oleh Komisi Komunikasi Sosial

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button