
Pendahuluan
Saya memulai tulisan ini dengan berkisah tentang pengalaman pribadiku.
Aku berjiwa koruptif. Sedari sekolah dasar, korupsi itu adalah bagian dari diriku. Tak diajarkan oleh siapapun, aku melakukannya. Aku ingin sebuah keuntungan tersembunyi yang dinikmati sendiri. Kesenangan adalah dasar yang mendorongku melakukan hal itu. Contoh yang paling sederhana adalah ketika aku diminta membeli sayur seharga Rp 500, maka aku akan membeli hanya Rp 450, agar Rp 50 dapat menjadi milikku. Aku mencuri rokok milik omku waktu SD agar dapat menyogok temanku sehingga dia mengizinkanku mandi di kali yang dijaganya. Jika ada peluang, aku akan mencuri uang ibuku. Namun uang itu tak langsung kupakai tetapi kukuburkan dalam tanah untuk beberapa hari. Ini untuk mengukur apakah ibuku sadar akan uangnya. Kalau tidak ada yang mencari, maka uang itu akan kubelanjakan. Kalau ya, maka aku akan mengembalikannya dengan terpaksa karena sedang berada di bawah ancaman sakitnya rotan.
Ketika masuk asrama pada usia SMP, mencuri seperti pengalaman SD hilang dengan sendirinya. Yang tinggal cuma kebiasaan mencuri buah-buahan di kebun sekolah, mengambil kiriman kue dari teman-teman yang kikir dan memakannya bersama tanpa memberitahu yang bersangkuatan. Pernah kami disiksa oleh pembina asrama karena mencuri mangga. Teman-teman yang sedang tidur siang dibangunkan. Lalu kami para pencuri disuruh maju agar dapat diamati oleh teman-teman. Lalu pembina menyuruh kami memakan mangga mengkal itu tanpa pisau. Karena sudah salah dan tak bisa melawan, kami pasrah melakukannya. Yang terpenting jangan dikeluarkan dari asrama. Teman-teman melihat kami sambil tertawa dan mangga menjadi nama ejekan teman-teman padaku saat reuni.
Hal-hal yang buruk hanya berkaitan dengan kenakalan-kenakalan remaja. Mencuri uang model SD hilang sama sekali karena ada peraturan yang sangat ketat dan tak ada toleransi. Kami tahu beberapa peraturan yang hukumannya fatal yakni dikeluarkan. Mencuri uang, menyontek, dan memukul teman (bukan berkelahi) adalah kejahatan-kejahatan serius semasa SMP dan SMA. Kejahatan tersebut masuk dalam kategori ‘tiada maaf’ bagimu. Hari di mana kejahatan itu diketahui, hari itu yang bersangkutan dikeluarkan. Ruang kompromi ditutup mati, karena tidak ada dialog tetapi perintah tunggal, “gulung tikar’’. Artinya anda dikeluarkan dari asrama dan sekolah.
Karena konsekuensinya yang berat, kejahatan mencuri yang cukup serius semasa SD tak pernah kulakukan. Syukur, hingga pendidikan tinggi dan usia menua, mencuri uang milik orang, menyontek, atau melakukan kejahatan terhadap orang sudah tak lagi menjadi bagian yang mencemaskan aku. Aku secara otomatis dan sedikit natural tidak melakukan hal-hal demikian. Uang yang banyak dan kemudahan AI tak membuatku mencuri atau berlaku curang. Aku lebih menjaga kekayaan dan derajat martabat pribadi sebab cuma itu yang bisa diwariskan.
Pengalamanku tentu saja terjadi pada cukup banyak orang. Kita masih memiliki banyak orang baik dalam masyarakat kita. Sehingga kita tak perlu ragu untuk terus mengampanyekan sebuah kehidupan bermartabat tanpa mencuri atau menipu demi keuntungan pribadi atau komunal. Banyak orang akan menyambut dan mendukungnya. Paling kurang di bagian terdalam diri, terdapat bara kebaikan yang tak pernah padam.
Fenomena Korupsi
Akan tetapi, harus kita akui bahwa lewat berbagai media kita kini diperhadapkan dengan kenyataan sosial yang cukup mengkhawatirkan. Kita berhadapan dengan sekolah yang menghancurkan ilmu, rumah sakit yang membunuh pasien, penegak hukum yang memperkosa keadilan, dan pejabat publik yang berubah menjadi perampok tingkat dewa serta bank yang menggelapkan uang nasabah.
Sebuah contoh yang miris diperoleh dari cerita temanku. Ia seorang pegawai kontrak pada sekolah swasta. Gajinya mendekati tiga juta. Untuk mencukupi kebutuhan, dia ‘nyambi’ menjadi tenaga IT pada sebuah lembaga pendidikan tinggi swasta, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dan membantu adik-adiknya bersekolah. Salah satu adiknya kemudian kedapatan bermasalah dan ditahan kepolisian. Ia diproses di pengadilan. Berbagai cara telah diupayakan untuk meringankan hukum adiknya tersebut. Setiap kali ada sidang pengadilan, dia harus menyediakan kurang lebih 10 juta. Pada hari keputusan akhir, ia harus menyediakan ‘roti’ (bahasa yang dipakai jaksa sendiri) untuk jaksa dan hakim sebanyak 40 juta. Seluruh proses pengadilan menghabiskan uang sekitar 80 juta. Temanku kerap bekerja dari pagi sampai pagi, jam 08.00 hingga 02.00 pagi. Dengan banting tulang sebagai pegawai kecil, ia harus juga memenuhi kebutuhan para penegak hukum. Keringat dan air matanya dititipkan sebagai tambahan penghasilan bagi keluarga penegak hukum.
Akhir-akhir ini kita diperhadapkan dengan korupsi gila-gilaan dari para pejabat publik. Korupsi yang sedemikian gila ini dilakukan dengan matinya kepekaan akan hidup dan nasib sesama anak bangsa ini. Seorang teman memberikan sebuah daftar korupsi gila-gilaan di pesan WA. Korupsi itu adalah sebagai berikut: korupsi tata niaga tim sebesar 300 T, korupsi Pertamina, oplos Pertamax, 196 T, korupsi bantuan likuiditas bank 138 T, korupsi penyerobotan lahan 78 T, korupsi TPPI 37,8 T, korupsi ASBRI 22,7 T, korupsi Jiwasraya 16,8 T, korupsi izin ekspor sawit mentah 12 T, korupsi pengadaan pesawat Garuda Indonesia 9,37 T, dan korupsi Kominfo 8 T.
Korupsi ini lebih rendah dari anggaran untuk Otonomi Khusus untuk seluruh provinsi di tanah Papua yang sebesar, 2,55 T. Uang ini berdasarkan peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 33 tahun 2024 diperlukan untuk belanja pendidikan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, infrastruktur, dan lain-lain. Uang ini diperuntukkan bagi penduduk Papua yang berjumlah 5.437.775 jiwa. Jika dibagi ke seluruh penduduk Papua, masing-masing akan mendapat kurang lebih Rp 463.000. Jika dibandingkan dengan korupsi pertamax terkini, Rp 193, 7 T maka akan menjadi 418.700.000 kali lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan seluruh warga otonomi khusus yang menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi kas negara.
Ini berarti pembangunan kita tak artinya dibandingkan dengan kerakusan mereka. Kebutuhan dasar dari jutaan perut lapar, sakit dan susah anak bangsa bagaikan musik pemicu adrenalin perilaku koruptif dan musik pesta bagi keluarga koruptor. Hal ini seperti mensinyalir sisi gelap manusia bahwa kerakusan yang sedemikian gila bisa melampaui kebutuhan dasar jutaan orang. Bahwa kebutuhan dasar orang bisa ditekuk begitu saja demi kemewahan pribadi dan keluarga. Kemewahan terpenuhi, perduli amat dengan teriakan jutaan orang. Ketidakperdulian itu menyata karena tindak korupsi yang gila-gilaan ini seperti lagu medley, sambung-menyambung dari satu kasus ke kasus lain.
Apa yang menyebabkan orang tega melakukan korupsi sedemikian gila ini? Disebut kegilaan karena tak masuk akal uang sebanyak itu diambil hanya untuk sebuah kesenangan pribadi dan kroni sambil dengan pongah dan terbahak melenggang di atas hiruk-pikuk masyarakat yang berpeluh dan berkeringat hanya untuk memenuhi sesuap nasi. Disebut sebuah kegilaan karena tindakan koruptif ini dilakukan, di mana akal dan nurani telah tidak berfungsi sebagaimana terjadi pada orang normal, yang terkadang mencuri karena keterdesakan atau karena kleptomania. Namun, kegilaan ini tentu terencana dan dipikirkan sedemikian matang sehingga hukum dan keadilan bisa dikadali dengan penyuapan.
Mengapa nurani dan akhlak orang bisa sedemikian matinya? Kematian akal disebabkan karena orang dikuasai oleh primordialisme sempit, sektarianisme, dan permusuhan (Tom Nichols 2017 & Franklin Foer, 2017). Orang mencari pembenaran bukan kebenaran dan menyebarkan kebohongan bukan fakta. Hal ini semakin mengerihkan karena di Indonesia kecerdasan digital warga sangat rendah (Digital Civility Index dari Microsoft, 2024).
Kematian nurani adalah keadaan di mana kompas moral tak memiliki kepekaan sedikit pun sehingga orang tak merasa bersalah atau menyesali tindakan yang mereka lakukan. Hati nurani adalah suara terdalam yang memperingatkan kita bahwa sesuatu yang tak beres telah dilakukan (H.L. Mencken, 1949). Hal ini disebabkan karena pembiasaan pelanggaran kecil yang dikurung dalam pola pikir tujuan menghalalkan cara. Pembiasaan ini terus merangkak naik ke pelanggaran yang besar. Akibatnya, hati terkunci bagi kebijaksanaan, yang dapat memandu perilaku dan menyuluh kebenaran. Matinya hati nurani membuat manusia lebih nista dari binatang (Greg Laurie, 2015).
Para koruptor triliunan adalah orang yang akhlak dan nuraninya telah mati. Akibatnya, rasa bersalah dan rasa malu hilang total (bdk, K. Bertens, 2002:49-63). Totalitas ini disebabkan karena hukum dan sanksi tak mampu untuk memberikan efek jera, bahkan hukum dan sanksi terlalu kecil dari hasil korupsi. Hasil korupsi dapat mengakali hukuman dan sanksi, seperti yang sering terjadi pada koruptor besar di negeri ini yang mampu untuk mengendalikan penjara dan denda.
Teganya sebuah tindakan koruptif yang sedemikian jahat dan gilanya pencurian yang tak lagi mengganggu nurani dan akhlak adalah hasil dari sebuah sistem sosial yang memang tidak berpanglimakan hukum. Hukum tidak lagi diindahkan karena penegakan hukum yang tidak konsisten, pembuatan hukum yang membela kepentingan yang berkuasa, dan hukum sebagai alat transaksi (bdk, Platon, Republic, 325 SM). Hukum dikomersialisasikan sedemikian rupa sehingga rakyat kecil dihukum dan para pejabat atau penguasa dapat meloloskan diri dari jeratan hukum.
Penegakan hukum dalam sebuah institusi politik sebesar negara kita merupakan pekerjaan yang membutuhkan sebuah revolusi mental yang luar biasa. Sayangnya, revolusi mental yang didengungkan Soekarno pada 1957 dan dijanjikan sebagai pilar politik era Jokowi tidak berjalan, dan yang terjadi lebih banyak revolusi pembangunan yang menghantar kita pada krisis keuangan yang secara implisit tersembul kembali lewat berbagai pemangkasan anggaran dewasa ini ( Yopi Hidayat, 2 Maret 2005).
Penegakan hukum mau tak mau harus tetap dijalankan agar kohesi bangsa dapat terwujud karena orang merasa memiliki negara dan negara berpihak pada keadilan bagi seluruh rakyat. Jika tidak, negara berubah bukan menjadi kleptokrasi tetapi klepto-demokrasi. Pencurian menjadi lakon mayoritas masyarakat. Korupsi menjadi fenomena keseharian dalam perjalanan harian bangsa. Mengapa? Karena mayoritas masyarakat telah belajar untuk tidak taat asas, hukum, dan peraturan dalam skala yang besar hingga skala yang kecil. Insting jahat yang hidup dalam kodrat yang terbawa sejak lahir seakan menemukan ladang subur dalam praktik koruptif yang bertumbuh bak jamur di musim hujan.
Memang kita sudah beranjak jauh dari perilaku yang tidak koruptif karena penegakan hukum yang bermasalah total. Mau tak mau kita harus membangkitkan insting baik yang ada di dalam diri yang bertumpuh pada nada dasar bahwa semua orang pada dasarnya baik. Hal ini tentu akan sangat sulit karena orang baik dan benar seakan bagaikan orang jahat dalam sebuah masyarakat atau institusi yang koruptif.
Bagaimana membangkitkan asa dari realitas koruptif yang sedemikian dalam? Kita sepertinya serba salah untuk melakukan tindakan yang benar, tepat, adil, jujur, dan baik. Namun, apakah kita semua harus menceburkan diri dalam kesalahan bersama yang akhirnya menghantar kita pada sebuah situasi di mana kita satu sama lain menjadi serigala bagi satu sama lain? Bukankah hal ini akan menghantar kita pada sebuah situasi di mana yang terkuatlah yang selamat? Lalu, yang kuat akan bertahan berapa lama? Bukankah hal ini akhirnya menjadi sebuah situasi di mana semua mencuri satu sama lain? Dapatkah kita bertahan dalam sebuah kekacauan total? Bukankah insting keteraturan akan mendesak mencari jalannya?
Mulai dari Lingkungan Kita
Tak bisa tidak, kita harus memulai sebuah kehidupan yang non-koruptif dari sebuah institusi sosial yang terkecil. Artinya, di mana orang kerap berada, seperti di sekolah, rumah, atau kantor, orang harus memastikan bahwa hukum dijalankan setegas mungkin. Kita mesti memulai dari sebuah komunitas kecil, di mana penggunaan keuangan atau anggaran perlu dilaporkan dan dipertanggungjawabkan sehingga transparansi menjadi kehidupan dalam lingkungan dan skala yang kecil ini. Pelanggaran-pelanggaran harus dihukum setegas mungkin pada skala yang kecil dan dijalankan secara konsisten. Dengan demikian, terbentuk sebuah pembiasaan kecil yang sangat bermanfaat.
Pembiasaan ini akan menjadi sebuah perintah by example yang dengannya orang akan tergugah dan terdorong membangkitkan rasa malu dan salah serta dengan sadar membuat pilihan yang berkeutaman. Keutamaan sebagai sebuah disposisi stabil menjadi ciri karakter yang dapat menjadi benteng di hadapan berbagai kejahatan koruptif. Dengan ini, orang kemudian memati-surikan naluri jahat yang kerap tersulut memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Karakter adalah pembiasaan pribadi yang dibentuk berdasarkan pilihan di antara dua hal ekstrim: yang terlalu kurang (deficiency) atau terlalu lebih (excess) . Pilihan ini harus dipertimbangkan secara matang (deliberation). Pertimbangan ini terjadi di dalam sebuah konteks sosial. Konteks sosial yang tidak berkeutamaan tentu akan menantang dan menarik kehendak kita karena kehendak kita bersifat buta (Schopenhauer, 1818). Ia membutuhkan daya timbang (pronesis) di hadapan berbagai pilihan dengan konteksnya secara menyeluruh (gnome). Melaluinya kita dapat menghasilkan keputusan yang adil (epikeia) di antara dua kondisi ekstrim di atas.
Dari sini menjadi jelas bahwa hidup sesuai dengan akal merupakan sebuah keharusan. Sayangnya orang Indonesia cenderung percaya tahyul, lemah wataknya, enggan bertanggungjawab serta berperilaku feudal (Mochtar Lubis, 6 April 1977). Kini kita sudah 48 tahun dari tahun pidato itu, namun modernitas (1660an) yang berarti berpijak pada rasio dan pencerahan yang berarti berani membuat pertimbangan sendiri (1750) tidak banyak terjadi. Hal ini tidak perlu harus dibuktikan cukup jauh. Perilaku koruptif seperti yang viral dalam bentuk poster di berbagai status WA memperlihatkan kecenderungan jahat yang tak tercerna akal lagi.
Namun harus dicatat sedikit bahwa moralitas tidak hanya soal akal. Meski moralitas diperoleh lewat praktek pemantapan daya timbang yang terus menerus, memahami emosi itu adalah hal signifikan. Alasannya jelas, memahami hal baik tidak otomatis membuat kita bertindak secara bermoral, khususnya tidak korupsi. Soalnya korupsi seringkali dilakukan oleh orang pintar. Apakah ada masalah dengan otak mereka? Tentu saja tidak! Keputusan tidak korupsi digerakan oleh perasaan. Konsekuensi emosi tak perlu ditekuk oleh akal tetapi dimengerti baik bahwa ia pada dasarnya mengarahkan kita pada cinta atau benci (inner beast). Dari sini kita tahu bahwa cinta memiliki dasar yang kuat daripada benci yang hanyalah kekurangan pada cinta. Penyelidikan ini menjadi penting untuk membangkitan sentiment moral serta simpati untuk mengerti dan berbagi suka dan duka dengan yang lain (Hume, 1751). Cinta dan benci adalah bagian dari gerak emosi kita. Hal yang tak enak seperti hidup konsisten sesuai dengan asas dan aturan kerap ditolak. Namun yang dibenci ini adalah bagian yang tak terelakan di dalam hidup kita. Pertumbuhan dan transformasi diri, keuelatan dan kekuatan dapat muncul darinya.
Akal dan emosi perlu direalisasikan secara seimbang untuk dapat menggerakan perilaku yang tidak koruptif. Darinya kita berkembang menjadi pribadi yang integral yang tidak korupsi karena pertimbangan matang dan kepekaan akan emosi untuk mencintai kebenaran, keadilan, kejujuran dan hidup bersama. Dengan demikian kita dapat menumbuhkan berbagai komunitas yang berperilaku koruptif. Penolakan terhadap korupsi disebabkan karena pertimbangan matang dan tingginya perasaan salah terhadap kejahatan koruptif.
Kesederhanaan Hidup
Selain itu, kita harus memulai sebuah kehidupan sederhana untuk melawan ekonomi biaya tinggi. Dewasa ini, kita diperhadapkan dengan keinginan banyak orang untuk kaya. Orang terlibat di dalam TikTok atau Facebook Pro dengan tujuan tertinggi atau ufuknya adalah untuk mendapat ‘cuan’. Dorongan ini sebenarnya banyak terjadi karena flexing. Ini adalah tindakan di mana orang ingin memamerkan pencapaian materialnya. Salah satu contoh mutakir yang terkenal kini adalah anak kapolda Kalimantan Selatan, Rosyanto Yudha Hermawan. Ia ketahuan menghabiskan uang sebanyak 1,2 miliar selama bulan Desember 2024. Padahal ayahnya berpenghasilan pokok kurang lebih 5 juta per bulan. Dari mana simpanan sebesar itu? Padahal dari gaji pokok yang lima juta dikali 15 tahun kerja hasilnya hanya sampai 900 juta. Inilah salah satu contoh yang makin marak kini, sebagaimana dipraktikkan para selebriti dan politisi bahkan para pemuka agama. Semua ini memperlihatkan trend dari masyarakat neoliberal yang mengorientasikan hidupnya pada akumulasi ‘cuan’ dengan mengkomersialisasikan apa saja, dari hal-hal publik hingga hal privat (H. Priyono, 2023: 139), Apakah hanya dengan cuan saja kita dapat hidup? Sebenarnya tidak! Hidup sederhana dapat mencukupkan semua.
Apa itu kehidupan sederhana? Hidup sederhana adalah hidup secukupnya, di mana yang diprioritaskan adalah kebutuhan-kebutuhan dasar. Henry David Thoreau menegaskan bahwa dengan hidup sederhanan orang dapat mencapai pengertian yang mendalam tentang diri dan alam semesta (Walden, 1854). Bagaimana kita hidup secara sederhana? Untuk hidup sederhana dalam sebuah institusi sosial, yang paling penting adalah bahwa setiap pengeluaran kebutuhan dasar itu harus dipertanggungjawabkan. Untuk dapat melakukan ini, orang harus memiliki sebuah prinsip dasar bahwa kesederhanaan adalah jalan dan prinsip hidup bahagia (Joshua Becker, 2016). Prinsip dasar ini harus menjadi pegangan bersama. Pegangan bersama ini perlu terus dibahas dan dibahasakan serta dibiasakan.
Adalah Epicurus (341 SM hingga 270 SM) yang dikenal dengan teori hedonis menegaskan bahwa manusia itu pada dasarnya menghendaki kesenangan dan menolak sakit atau derita. Kesenangan itu harus dipenuhi agar kita tidak merasa sakit. Untuk menghindari rasa sakit itu, kebutuhan harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat dipenuhi. Untuk dapat memberikan kepuasan, yang harus diinginkan adalah yang sesedikit mungkin. Baginya, sepotong kecil keju sudah merupakan sebuah pesta besar (Letter to Menoeceus 4 SM). Epicurus berpandangan bahwa kenikmatan terwujud jika semua keinginan dipuaskan sehingga tak satu pun yang diinginkan lagi. Semakin sedikit keinginan, semakin mudah dipuaskan. “Dia yang tak puas dengan yang sedikit, tak akan puas dengan apapun (Principal Doctrines, 4 SM).” Karena itu, orang perlu membatasi keinginan atau menginginkan sesedikit mungkin. Dengan menginginkan yang sesedikit mungkin, kita memiliki kemampuan untuk memuaskan kebutuhan kita secara tuntas dan kita dapat secara total mematikan rasa sakit dari ketidakterpenuhinya kesenangan. Pandangannya ini bertentangan dengan pandangan mazhab Cyrenaics, khususnya Aristippus (435–356 SM) yang hidup sebelum Epicurus. Mereka berpandangan bahwa kesenangan terletak pada makan, minum, dan seks. Hal ini sebenarnya sudah ada pada filsafat Cārvākas (Abad 6-5 SM) di India yang mengajarkan kenikmatan material. Memang dia disalahkan karena menganut prinsip hedonis, namun hedonisnya adalah sebentuk kejujuran terhadap kecenderungan dasariah manusia untuk tak bisa tidak senang di dalam hidupnya. Manusia pada dasarnya ingin senang, namun ia memberikan sebuah strategi jitu yang kerap dilupakan, yaitu kesenangan dalam pemuasan total. Pemuasan total hanya terwujud dalam menginginkan yang sesedikit mungkin.
Epicurus tidak hanya mengajarkan hidup hedonis sederhana tetapi juga membangun sebuah komunitas kecil. Komunitas kecil dan sederhana ini dimaksudkan untuk mengejar ketenangan batin lewat kehidupan yang sederhana, persahabatan, peningkatan ilmu pengetahuan, dan kesadaran akan ketidaktakutan di dalam hidup. Setiap hari diadakan pembahasan semacam kuliah tentang berbagai pengetahuan dan etika. Lalu, di dalam komunitas itu dipraktikkan puasa dan pantang. Melalui cara hidup ini, ketenangan batin (atraxia) bertumbuh, berkembang, dan menjadi bagian integral dalam hidup anggota-anggotanya. Hal sejenis ini terjadi di banyak komunitas religius dalam berbagai agama. Misalnya, di dalam kelompok hidup religius Katolik terdapat berbagai macam komunitas hidup religius yang menjanjikan, mendidik, dan mempraktikkan kehidupan sederhana seumur hidup. Hidup sederhana harus dijanjikan secara publik dan dicek dalam bentuk koreksi fraternal di mana anggotanya dinilai oleh sesamanya secara terbuka atau tertutup tentang praktik hidupnya yang tentunya akan diikuti dengan sanksi sesuai dengan pelanggaran.
Penutup
Jadi, praktik hidup non-koruptif harus dimulai dari sebuah institusi kecil di mana kehidupan harus dijalankan sesederhana mungkin. Kesederhanaan itu harus dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban hanya dimungkinkan kalau dalam skala kecil terdapat konsistensi dalam penegakan hukum. Tanpa penegakan hukum dalam institusi kecil dan pembiasaan hidup sederhana, kita tidak bisa menusuk sembari membongkar kejahatan koruptif yang telah merajalela dari skala yang kecil hingga ke skala yang mencengangkan gilanya. Menutup tulisan ini saya teringat akan sebuah pepatah Latin kuno: Aqua lapidem cavat non vi, sed saepe cadendo. Air melubangi batu bukan karena kekuatan tetapi keseringan. Kejahatan koruptif yang gila secara mengerikan hanya bisa diatasi lewat pembiasaan konsisten kesederhaan sebagai sebuah pilihan dari pertimbangan matang (deliberation) sehingga ia menjadi sebuah disposis stabil. Ini menghantar kita pada gagasan keutamaan (arete) yang ditegaskan oleh Aristoteles keuatamaan karakter tidak muncul secara alami, melainkan melalui pembiasaan. Kebiasaan baik dibentuk melalui tindakan yang berulang (Ethics of Nicomachean, Book II, 350 SM).
Daftar Pustaka
Becker, Joshua. (2016). More of Less.
Bertens, K. (2002). Etika.
Epicurus. (4 SM). Letter to Menoeceus.
Epicurus. (4 SM). Principal Doctrines.
Foer, Franklin. (2017). World Without Mind: Why Google, Amazon, Facebook, and Apple Threaten Our Future.
H.L. Mencken. (1949). A Mencken Chrestomathy.
Hume, David. (1751). An Enquiry Concerning the Principles of Morals.
Lubis, Mochtar, (177). Pidato Kebangsaan.
Nichols, Tom. (2017). The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters.
Priyono, H. (2023). Ekonomi Politik dalam Pusaran Globalisasi dan Neoliberalisme.
Platon. (325 SM). Republic.
Thoreau, Henry David. (1854). Walden.
Yopi Hidayat. (2005). “Bibit Krisis Ekonomi: Danantara dan Pemangkasan Anggaran”. Tempo, 2 Maret 2005.