KETIKA PELAYANAN LEBIH UTAMA DARI MATERI: JEJAK MAS KOKO
Cerita di Balik Pembangunan Gedung Mgr. Jhon Philip Saklil, Asrama Bagi Para Calon Imam Projo Keuskupan Timika
KEUSKUPANTIMIKA.ORG – Sebuah bangunan megah kini berdiri di kawasan Seminari Tinggi Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Fajar Timur, Jayapura. Gedung baru itu bukan hanya menghadirkan kebanggaan, tetapi juga menyimpan kisah panjang perjuangan. Di balik kemegahannya, ada sosok sederhana yang selama hampir dua tahun setia mendampingi proses pembangunan: Cosmas Nuryanto Triyadi, atau akrab disapa Mas Koko (59).
Peletakan batu pertama gedung Asrama para calon imam Projo Keuskupan Timika yang kemudian diberi nama Mgr. Jhon Philip Saklil, Uskup pertama Timika ini, dilaksanakan pada 28 September 2023.
Hadir dan turut meletakan batu pertama pada saat itu adalah Vikaris Jenderal Keuskupan Timika, Pastor Marthen Ekowaibi Kuayo Pr, yang saat itu menjabat Administrator Diosesan, pasca wafatnya Mgr. Jhon Saklil pada 3 Agustus 2019 lalu. Penjabat Wali Kota Jayapura, Dr. Frans Pekei M.Si., dan Mrg. Bernardus Bofitwos Baru OSA, Uskup Timika, yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua STF Fajar Timur juga ikut hadir dan meletakan batu pertama.
Sejak momen itu, perjalanan panjang pembangunan dimulai, sebuah proses yang penuh dengan tantangan, suka dan duka.
Dari Target ke Kenyataan
Awalnya, pembangunan ditargetkan rampung dalam 1 tahun 4 bulan. Namun, atas kebaikan hati Pastor Marthen, para tukang di bawah pimpinan Mas Koko, diizinkan untuk terlebih dahulu membangun sebuah wisma bagi para calon imam Keuskupan Agats.
Hal ini menyebabkan, target penyelesaian gedung asrama para frater Keuskupan Timika molor dan baru dapat diselesaikan pada kurun waktu 1 tahun dan 9 bulan, terhitung sejak September 2023 hingga Agustus 2025.
Meski harus terlebih dahulu menyelesaikan gedung asrama milik Keuskupan Asmat yang kini diberi nama Wisma Salib Suci, Mas Koko dan para tukangnya tidak kehilangan semangat.
“Gedung Mrg. John Philip Saklil ini benar-benar mandiri. Listrik dan air tidak lagi bergantung pada bangunan lain,” ujarnya dengan nada bangga.
Bagi orang lain, ini mungkin hanya bangunan dengan dinding kokoh dan fasilitas lengkap. Namun bagi Mas Koko, setiap bata, semen, dan rangka besi di dalamnya adalah bagian dari sebuah pelayanan, persembahan kecil untuk Gereja dan mereka yang kelak menjadi gembala umat.
Megah dan Lengkap
Gedung berluas 8.100 meter persegi ini berdiri kokoh dengan tiga lantai, dikerjakan oleh 26 orang tukang. Fasilitasnya dibuat lengkap dan modern.
Terdapat 51 kamar tidur untuk para frater, ditambah 4 kamar untuk para pembina.
Sebuah kapel yang megah, ruang perpustakaan, ruang rekreasi di lantai 1 dan 3, ruang makan, serta dapur terpisah.
22 kamar mandi dan WC, jalur diesel, ruang cuci dan strika, serta fasilitas umum lainnya.
Selain itu, dilakukan pula penimbunan halaman depan dan penambahan mebelair di setiap kamar, ruang makan, kapel dan ruang rekreasi. Hebatnya, semua penyempurnaan ini tetap efisien dan tidak melebihi Rencana Anggaran Biaya (RAB).
Suka Duka Seorang Pembangun
Dalam proses pengerjaan, Mas Koko dan tim kerap harus berimprovisasi. Mereka bekerja berdasarkan denah, sementara detail struktur dan bentuk dalam bangunan lahir dari inisiatif tim, lalu dikonsultasikan dengan pastor administrator.
Baginya, semua jerih payah itu terbayar lunas saat melihat gedung berdiri megah.
“Saya sangat puas. Prinsip hidup saya adalah kepuasan batin, bukan materi. Pekerjaan ini bagian dari pelayanan, dukungan kecil bagi para calon imam,” ungkapnya.
Meski lelah, ia tak pernah mengeluh. Meski ada keterlambatan, semangatnya tidak padam. Ia yakin setiap keringat yang jatuh akan bermakna lebih besar daripada upah yang diterima.
Persembahan Hidup
Kini, rasa syukur dan lega jelas terpancar dari wajah Mas Koko.
“Senang sekali. Dari dulu saya selalu bertanya kapan bisa selesai. Akhirnya, jadi juga,” katanya sambil tersenyum.
Gedung baru ini tidak hanya sekadar fasilitas fisik, melainkan juga persembahan cinta, kerja keras, dan iman. Sebuah warisan berharga dari orang-orang sederhana yang bekerja dalam diam, dipimpin oleh seorang pria yang menjadikan pelayanan sebagai panggilan hidupnya.
Sebuah persembahan hidup untuk Gereja, dan jejak kecil yang akan dikenang oleh mereka yang kelak dipanggil menjadi imam.***(JIMMY RAHADAT)




