GEREJA DAN BUDAYA LOKAL
“ Gereja Berdialog dengan Budaya Lokal Suku Mee - Mapiha di Paroki Santa Maria Bunda Rosario, Modio ”
A. PENGANTAR
Negara Indonesia memiliki bermacam-macam budaya yang unik, yang mulai mengalami proses globalisasi. Kekayaan budaya yang umum kita jumpai dalam setiap budaya adalah sekelompok orang, ritual, media perjumpaan mereka dengan yang Ilahi, bahasa tuturan dan praktek ritual. Setiap budaya tidak bisa terpisahkan dari diri seseorang yang sudah lama dihidupinya. Budaya merupakan jati diri manusia yang harus dijaga, diangkat, dipelajari, dimengerti, dan dihayati supaya semakin bertumbuh dan berakar di tengah tantangan zaman. Meskipun banyak budaya yang kita jumpai di Indonesia, tetapi kali ini saya ingin mendalami dan membahas mengenai kearifan lokal budaya suku Mee-Mapiha, Provinsi Papua Tengah.
Pada zaman sekarang, ada banyak orang terpengaruh oleh globalisasi membuat mereka terjebak dalam arus paham-paham materialisme, hedonisme, individualisme, narsisme terarah pada pelayanan kepada diri sendiri dan kenikmatan hidup dengan berkedok agama. Ciri-ciri manusia yang hidup dalam alam post modernisme dalam konteks kondisi global sekarang ini digambarkan oleh M. Paul Gallager dan David Harve antara lain: 1. Kegamangan akan masa depan, 2. Hilangnya kedalaman hidup, 3. Sulit percaya pada yang transenden, 4. Maraknya sikap hidup instant, 5. Menonjolnya kesementaraan, 6. individualis dan hedonis, 7. Sulit memegang komitmen sebagai akibat dari mudahnya orang untuk “membuang” segala, termasuk nilai-nilai.
Pengaruh globalisasi ditandai dengan fenomena yang memprihatinkan terjadi di tempat-tempat seperti Enarotali, Waghete, Moanemani, dan tak lama lagi Bomomani. Tempat-tempat tersebut adalah daerah pedalaman Suku Mee yang sekarang tak lagi nyaman bagi orang setempat (Suku Mee) dan kiranya juga bagi Gereja. Mengapa? Ada beberapa kelompok yang memiliki kepentingan tertentu bersikap arogan di atas tanah yang telah dikelola sebelumnya oleh penduduk setempat. Tempat-tempat itu juga telah ditandai dengan merebaknya militerisme, yakni bertambahnya jumlah para pemegang senjata dan pengambilalihan beberapa sarana dan fasilitas yang seharusnya diserahkan kepada masyarakat melalui pemerintah setempat.
Pada masa Operasi Koteka, masyarakat dipaksakan untuk meninggalkan budayanya. Mereka diperintahkan supaya menggantikan koteka dengan celana. Operasi koteka adalah tindakan melecehkan jati diri budaya setempat dan hal itu sangat merugikan orang setempat. Saya menyadari bahwa orang Papua yang sedang berada di daerah terisolir, kampung-kampung yang bercorak Papua dan Kristen, dan yang masih berpegang teguh pada budayanya perlu dilestarikan tanpa harus menutup diri terhadap perubahan.
Fenomena kehidupan sosial seperti ini sama sekali tidak membangun dan melestarikan kebudayaan, karena kebudayaan sejatinya merupakan sarana yang dengannya manusia, sebagai manusia semakin manusiawi dan benar-benar semakin manusiawi dengan lebih banyak memiliki akses pada keberadaan (Yoh Paul II, Amanat kepada UNESCO 2 Juni 1980).[1]
Saya akan membahas Tema umum Gereja dan Budaya. Sub Tema yang dibahas adalah Gereja Berdialog dengan Budaya Lokal Suku Mee-Mapiha di Paroki Santa Maria Bunda Rosario, Modio. Fokus pembahasan saya adalah menjelaskan tentang kearifan lokal budaya suku Mee-Mapiha sebagai wadah pewartaan Injil dan bagaimana sesungguhnya Gereja (Sejak misionaris asing: Pastor Tillemans dkk. sampai pada penggembalaan Mgr. John Philip Saklil, Pr, pelopor gerakan tungku api dan P. Biru Kira, Pr sebagai pastor Paroki Modio) menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, hendak berdialog dengan budaya lokal Mee-Mapiha di Paroki Modio. Teladan para kaum tertahbis yang disebutkan ini menjadi saksi dan sakramen keselamatan bagi umat Allah, baik itu orang asli Papua maupun pendatang yang sudah tinggal di Papua dan yang akan datang ke Papua, supaya sungguh-sungguh memberikan kesaksian melalui dialog, sehati dan sepikir untuk menjaga, melindungi serta mempertahankan kearifan budaya lokal. Oleh karena itu, saya akan membahasnya dalam beberapa pertanyaan sbb: (1) Apa itu gereja? (2) Apa itu budya? (3). Bagaimana Gereja berdialog dengan Budaya Lokal Suku Mee-Mapiha di Paroki Santa Maria Bunda Rosario, Modio?
B. PEMBAHASAN
Pada bagian pembahasan ini saya akan menjelaskan 1). Apa itu Gereja, 2). Pengertian mengenai budaya dan budaya lokal, 3). Sedikit menjelaskan kepada kita mengenai gambaran umum suku Mee-Mapiha (Lokasi, Asal-usul dan Sistem Religi), 4). Bagaimana pengaruh Gereja (Sejak misionaris asing: pastor Tillemans dkk. sampai pada penggembalaan Mgr. John Philip Saklil, Pr, pelopor gerakan tungku api dan P. Biru Kira, Pr sebagai pastor paroki Modio) menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, telah dan sedang berdialog dengan kearifan budaya lokal (Suku Mee Mapiha). Pada poin ini saya akan membahas mengenai (a). semangat Gereja bermisi masuk melalui budaya lokal dan keluar melalui budaya kita; (b). Sejarah awal perjumpaan dan dialog oleh Misionaris Barat, P. Tillemans, MSC dengan Tokoh Adat Auki Tekege; (c). Kearifan Budaya Lokal (Suku Mee-Mapiha) dijadikan sebagai tempat persiapan bagi pewartaan Injil; (d). Mgr. John Philip Saklil sebagai pemimpin Gereja Keuskupan Timika dan juga pelopor GERTAK (Gerakan Tungku Api Keuskupan) bersama rekan kerjanya, P. Biru Kira, Pastor Paroki Modio berdialog dengan budaya lokal di Paroki.
- APA ITU GEREJA?
Sejak sebelum Konsili Vatikan II, pemahaman Gereja masih sangat terbatas pada hierarki. Gereja masih berbentuk piramida terdiri dari Paus, Uskup, Imam, Diakon atau singkatnya mereka yang menerima kuasa tahbisan (pastosentris). Namun, dalam Konsili Vatikan II terdapat pemahaman baru yakni Gereja harus senantiasa memperbaharui diri dari masa ke masa agar kehadirannya dapat berguna bagi dunia (Ecclesia Semper Reformanda). Pemahaman Gereja saat ini bukan lagi terbatas pada pastorsentris (hierarki), tetapi Gereja sebagai Umat Allah. Gereja (kaum tertahbis dan kaum awam) bersama-sama terlibat secara aktif dalam pewartaan kabar gembira di tengah dunia yang menampilkan sifat-sifat Gereja seperti: sifat Gereja yang satu artinya Gereja itu satu karena Roh Kudus mempersatukan para anggota jemaat satu sama lain; kudus artinya berkat Roh Kudus yang menjiwainya sehingga Gereja bersatu dengan Tuhan, satu-satunya yang dari diri-Nya sendiri kudus; katolik artinya “menyeluruh”, “am” atau “umum” karena tersebar di seluruh dunia sehingga mencakup semua; apostolik artinya Gereja dibangun di atas para rasul.
Kehadiran Gereja (umat Allah) di tengah dunia merupakan sakramen atau tanda keselamatan Allah yang nyata. Umat Allah dipanggil kepada kesucian dengan cara mengambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam (menguduskan), raja (memimpin), dan nabi (mengajar) dengan caranya masing-masing sesuai bidangnya. Gereja berusaha menghayati Injil Yesus Kristus dalam suatu budaya, dimana usaha itu mengandaikan tiga unsur pokok, yaitu: persekutuan, pewartaan Injil, perayaan iman dan pelayanan untuk mengembangkan iman Kristiani dalam suatu konteks tertentu, misalnya: konteks sosial (kemiskinan), politik (kekuasaan dan penindasan), budaya (nilai dan jati diri manusia), dan tempat (geografis).
- APA ITU BUDAYA LOKAL?
a. Pengertian Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal – hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, dalam bahasa inggris kebudayaan disebut culture yang berasal dari kata latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan dapat diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani, kata culture juga kadang sering diterjemahkan sebagai “Kultur” dalam bahasa Indonesia.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Koentjaraningrat bahwa “kebudayaan” berasal dari kata sansekerta buddhayah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal, sehingga menurutnya kebudayaan dapat diartikan sebagai hal- hal yang bersangkutan dengan budi dan akal, ada juga yang berpendapat sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi – daya yang artinya daya dari budi atau kekuatan dari akal.
Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu pertama sebagai suatu ide, gagasan, nilai- nilai norma-norma peraturan dan sebagainya, kedua sebagai suatu aktifitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam sebuah komunitas masyarakat, ketiga benda-benda hasil karya manusia.[2]
Seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan definisi kebudayaan yang berbeda dengan perngertian kebudayaan dalam kehidupan sehari- hari: “kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”.
Sehingga kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan, istilah ini meliputi cara- cara berlaku, kepercayaan- kepercayaan dan sikap- sikap dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
b. Pengertian Budaya Lokal
Para ahli kebudayaan memberi pengertian budaya lokal sebagai berikut:
- Superculture, kebudayaan yang berlaku bagi seluruh masyarakat, contohnya kebudayaan nasional.
- Culture, lebih khusus, misalnya berdasarkan golongan etnis, profesi, wilayah atau daerah, contohnya budaya Sunda.
- Subculture, merupakan kebudayaan khusus dalam sebuah culture, tetapi tidak bertentangan dengan kebudayaan induknya, contohnya budaya gotong royong.
- Counter-culture, tingkatannya sama dengan subculture, yaitu bagian turunan dari culture, tetapi counter-culture ini bertentangan dengan kebudayaan induknya, contohnya budaya individualisme.
Berdasarkan skema sosial budaya yang ada di Indonesia, yang terdiri atas masyarakat yang bersifat majemuk dalam struktur sosial, budaya dan ekonomi, budaya lokal berada pada tingkat culture.
Budaya lokal biasanya didefinisikan sebagai budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut J.W. Ajawaila, budaya lokal adalah ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat. Sedangkan, menurut Encyclopedia Britannica istilah budaya lokal biasanya digunakan untuk mencirikan pengalaman kehidupan sehari-hari di tempat-tempat tertentu yang dapat diidentifikasi. Kata budaya lokal juga bisa mengacu pada budaya milik penduduk asli (inlander) yang telah dipandang sebagai warisan budaya
Di Indonesia, budaya lokal biasanya selalu terikat batas-batas fisik dan geografis yang jelas. Misalnya budaya lokal di Jawa akan berbeda dengan budaya lokal di Bali. Oleh karena itu, batas geografis telah dijadikan landasan untuk merumuskan definisi suatu kebudayaan lokal.
Ciri-ciri budaya lokal dapat dikenali dalam bentuk kelembagaan sosial yang dimiliki oleh suatu suku bangsa. Kelembagaan sosial merupakan ikatan sosial bersama di antara anggota masyarakat yang mengkordinasikan tindakan sosial bersama antara anggota masyarakat.
Lembaga sosial memiliki orientasi perilaku sosial ke dalam yang sangat kuat. Hal itu ditunjukkan dengan orientasi untuk memenuhi kebutuhan anggota lembaga sosial tersebut.
Dalam lembaga sosial, hubungan sosial di antara anggotanya sangat bersifat pribadi dan didasari oleh loyalitas yang tinggi terhadap pemimpin dan gengsi sosial yang dimiliki.
- GAMBARAN UMUM TENTANG SUKU MEE-MAPIHA?[3]
a. Lokasi
Manusia Mee adalah suku asli yang berdomisili di wilayah pegunungan tengah Irian Jaya (sekarang Papua) di Paniai (Meuwo). Manusia Mee berperawakan kecil.[4] Letak daerah yang didiami suku Mee, secara geografis membentang antara 1350-1370 Bujur Timur (BT) dan 30-40 Lintang Selatan (LS). Daerah ini merupakan daerah pegunungan atau daerah pedalaman dengan diselingi lembah yang dalam dan keunikan alam secara alami. Ketinggian terletak pada 1.765 meter di atas permukaan laut dengan luas wilayah mencapai 855, 64 kilometer persegi. (Sedangkan letak koordinat antara 1360 12,02-1370 30’ Bujur Timur).[5]
Wilayah suku Mee terdapat banyak lembah. Lembah-lembah tersebut adalah: lembah Kamu, Debei, Agadide, Obano, Weadide, Waneuwodide, Kegata, lembah Paniai, lembah Tage, Lembah Tigi, dan Okomodide, kecuali daerah Mapia yang meliputi lereng-lereng gunung, perbukitan sampai daerah berhawa panas Topo, Distrik Uwapa, kabupaten Nabire.[6] Manusia Mee tidak mengalami kesulitan, kendati mereka berdomisili pada wilayah di mana iklim, cuaca dan letak daerah sangat heterogen. Sebagian lereng-lereng pegunungan ditumbuhi hutan-hutan asli yang sangat lebat dengan pohon-pohon yang besar, keras maupun lunak, pandan-pandanan, tanaman hias, macam-macam jenis anggrek dan rumputan alami yang unik.[7]
b. Asal Usul dan Sejarah Suku Mee
Dalam setiap suku bangsa di dunia ini pasti mempunyai fakta sejarah asal usul mereka. Sejarah orang Mee itu telah diwariskan secara lisan di kalangan manusia Mee. Menurut asal usul suku bangsanya, suku Mee berasal dari “PUPU PAPA”[8] Bagian Timur (Awiyato) Pegunungan Tengah Papua Barat. Dan sekarang keberadaan manusia Mee di wilaya Meuwo dari Makataka sampai kegataka, Papua bagian tenggah.
Suku Mee dahulu dikenal sebagai nama Mee yang erat kaitannya dengan pengetahuan, sikap, ketrampilan dan perbuatan setiap pribadi. Apabila setiap orang mampu mengungkapkan, mewujudkan atau menerapkan pengetahuan melalui sikap, keterampilan maupun perbuatan yang benar, baik dan berguna sesuai standar nilai budaya maka dirinya akan disebut Makodo Mee (Manusia Sejati).
Pandangan manusia Mee untuk menjadi manusia seutuhnya adalah manusia yang berpikir (Gai) dan bekerja (Ekowai), karena suku Mee berpandangan bahwa tanpa berpikir (Gai) akan sesuatu, manusia tidak menjadi manusia dan semua pekerjaan (Ekowai) akan menjadi kesia-siaan atau tidak membawa hasil. Dengan demikian, suku Mee menyimpulkan bahwa tanpa berpikir (Gai) dia tidak akan menjadi manusia sejati dan tanpa bekerja (Ekowai) dia bukan manusia. Hal ini menjadi suatu falsafah hidup suku Mee, yaitu “Gai dan Ekowai”. Hal Gai dan Ekowai itu juga telah tercantum dalam pokok iman orang kristiani, seperti:
”Allah sungguh Allah yang Mahabaik, menyelenggarakan hidup kita dengan berkecukupan, memberikan kita kesejahteraan fisik maupun spiritual bila kita memaknainya dengan benar, memberikan kita kebebasan menggunakan daya pikir, daya nalar dan daya perasaan kita untuk mengusahakan kesejahteraan itu, memberikan kepada kita tanggung jawab suci itu melalui usaha dalam kerja kita. Kerja bukanlah hanya melakukan sesuatu yang menghasilkan benda atau barang saja, tetapi kerja juga meliputi upaya membangun persaudaraan dengan sesama melalui komunitas yang efektif”.[9]
Melalui Ekowai (kerja) suku Mee memahami dan menghayati bahwa manusia mengikat diri dalam seluruh hidupnya, menjadikannya sebuah spiritualitas hidup, agar mencapai kepenuhan hidup yang diperoleh melalui keselarasan antara akal budi (Dimi) dan kerja (Ekowai). Dan melalui kerja (Ekowai) manusia memanusiawikan bumi yang liar, kerja (Ekowai) mendidik manusia menemukan identitas dirinya, menemukan kebersamaan, menumbuhkan solidaritas, menemukan nilai-nilai hidup, menemukan kepercayaan, kehormatan, dan penyelesaian masalah bersama, serta mencintai sesama. Itulah hakikat yang terkandung dalam Ekowai (kerja) itu sendiri. Benny Makewa Pigai berpendapat;
“Budaya dan kearifan lokal merupakan Kerajaan Allah yang diyakini oleh suku Mee adalah tempat mereka hidup dan berkarya tetapi suatu saat akan berpindah ke dunia lain. Dunia di sana tidak perlu bekerja keras seperti dunia sekarang. Dunia di sini mencari kebahagiaan melalui bekerja dan berusaha, sehingga ada pepatah mengatakan “orang yang tidak bekerja lebih baik tidak hidup dan tidak makan.”[10]
c. Sistem Religi Suku Mee [11]
Manusia Mee telah meyakini adanya Tuhan pencipta yang dikenal dengan Ugatame. Dalam penghayatan, manusia Mee menyebut dan membesarkan nama Ugatame yang tidak kelihatan oleh karena keyakinan bahwa Ugatame sebagai penyelenggara hidup dari dan dalam kehidupan nenek moyang leluhur manusia Mee. Sehubungan dengan itu, terdapat sebutan ilahi atas Ugatame yakni: Ugatame (pribadi pencipta), Ugata Ibo (Pencipta yang besar), Epa Dou Tou (Penyelenggara langit dan bumi), Wadome (Pribadi yang ada di atas), Menaka (Bapak manusia), Me-poya (Pribadi yang suci), Gaibokoutu (Pribadi yang maha tahu dan maha fikir), Touto-Me (Pribadi yang Ada Terus, Hidup Terus).
- BAGAIMANA GEREJA BERDIALOG DENGAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL SUKU MEE MAPIHA?
- Spirit Bermisi “Masuk Melalui Pintu Mereka Dan Keluar Melalui Pintu Kita”
Paus Yohanes Paulus II dalam Catechesi tradendae menegaskan bahwa katekese dan evangelisasi pada umumnya diarahkan untuk membawa inti warta Injil ke dalam hati setiap budaya dan kepada semua kebudayaan-kebudayaan (no.53). Tetapi, bukan berarti menyingkirkan nilai-nilai budaya yang ada dalam tradisi setempat melainkan menyampaikan ajaran Kristiani melalui nilai-nilai budaya itu. Dalam pesan Sinode 1977 mengatakan, “inkarnasi iman yang sesungguhnya melalui katekese bukan hanya proses memberi, tetapi juga menerima” (no. 5).
Gereja hadir di tengah dunia (budaya) menjadi tanda dan sarana untuk mengakarkan Injil dan mengusahkan agar semua orang yang telah menjadi pengikut Kristus bisa memiliki iman kuat dalam gereja yang mandiri. Iman kuat dan gereja yang mandiri merupakan perwujudan dari usaha para misionaris yang menjaga dan melayani umatnya di bawah bimbingan Roh Kudus agar umat mengekspresikan imannya dalam budayanya sendiri (iman yang membudaya). Pelayan Tuhan hendaknya merangkul umatnya dan membantu mereka berbicara dalam bahasa dan budaya mereka sendiri seperti para murid ketika mendapat pencurahan Roh Kudus waktu pentakosta (Kis. 2:1-3).
Seorang hamba Tuhan dipanggil menghidupi semangat mengosongkan diri, meninggalkan konsep atau pengetahuan pribadi dan masuk dalam situasi budaya setempat. Kiranya semangat ini menjiwai pelayan Injil untuk masuk melalui pintu mereka dan keluar melalui pintu kita yang jauh sebelumnya dihayati oleh Santo Paulus dalam suratnya “Sungguh pun Aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. …” (I Kor 9:19-22).
Semangat melayani hendaknya bercermin pada Yesus yang mempunyai visi tentang Kerajaan Allah. Menurut Anthoni D’Souza, Visi Yesus itu telah dinyatakan kepada para murid dan umatnya ketika berada di atas bukit yang kemudian dikenal sebagai kotbah di bukit. Selain memiliki visi, Sang Guru juga memiliki misi dan tujuan yang berorientasi pada keselamatan dan kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Yesus datang untuk “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, penglihatan bagi orang buta, untuk membebaskan orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 14: 18-19).
Menurutnya, Yesus memiliki gaya kepemimpinan yakni melalui Sabda dan perbuatan nyata, yakni: 1. Menyembuhkan orang kusata (sungguh peduli dan tanggap terhadap orang yang membutuhkan); 2. Mengusir para pedagang dan membersihkan rumah ibadat (berani menentang institusi); 3. Bercakap-cakap dengan wanita di dekat sumur (menghancurkan
segala penghalang); 4. Berkunjung ke rumah Zakheus (membuka pintu dialog dan menghampiri orang yang dikecam masyarakat); 5. Membela wanita yang akan dirajam oleh orang-orang Farisi (berani menentang perkara yang ditimpakan kepada wanita itu dan mengingatkan semua orang pada kesucian); 6. Membasuh kaki para murid (memberikan teladan yang nyata); 7. Tergantung di Kayu Salib (konsisten mengejar visi, misi, dan tujuan hidup-Nya sampai rela mengorbankan hidupnya).[12]
- Sejarah Awal Perjumpaan Misionaris Barat dengan Tokoh Adat dan Gereja, Auki Tekege (Pembawa Terang bagi Masyarakat Koteka)[13]
Pada zaman sebelum agama masuk, Masyarakat Mee di Mapia telah lama membangun relasi dagang dengan masyarakat Kamoro di pesisir selatan, Mimika. Orang-orang Mapia, termasuk di antaranya Bapa Auki Tekege seringkali bepergian ke daerah pesisir. Perjumpaan dengan orang Kamoro yang telah terlebih dahulu mengenal misionaris dan juga pemerintahan kolonial Belanda, membuat Auki terkesan. Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh kedatangan misionaris telah menyalakan api dalam hati Auki. Terbersit keinginan, bahwa pengaruh agama dan peradaban yang telah dirasakan oleh orang-orang Kamoro perlu juga dialami oleh masyarakatnya di Pegunungan. Akhirnya, Auki bersama dengan beberapa temannya, pada tahun 1932, dengan bantuan orang-orang Kamoro di pesisir, berjumpa dengan para misionaris ini, yang diwakili oleh P. Tillemans MSC yang saat itu bertugas di Paroki Kokonao. Walaupun tidak tahu banyak, namun percaya, Auki dan teman-temannya mengundang P. Tillemans untuk datang mengunjungi tempatnya tinggal di gunung, Modio. Harap diketahui, pada saat itu, keberadaan masyarakat Papua di Pegunungan belum banyak diketahui oleh para misionaris dan pemerintahan kolonial. Maka, undangan Auki adalah sebuah peluang untuk membuka kemungkinan pewartaan Injil dari daerah Pantai ke daerah gunung.
Tiga tahun kemudian, pada tahun 1935, dimulailah ekspedisi pertama di bawah pimpinan dr. Bijmler. P. Tillemans ikut di dalamnya. Dari pesisir ekspedisi ini berjalan menuju ke arah pegunungan. Ekspedisi ini pada tanggal 25 Desember 1935 telah sampai di kampung Ihago (saat ini stasi dari Paroki Apouwo). Tanggal ini perlu dicatat, karena pada hari inilah P. Tillemans MSC untuk pertama kalinya merayakan Ekaristi di daerah Meuwodide, di daerah Pegunungan Tengah. Satu hari kemudian, ekpedisi ini sampai di Modio. Pada waktu itu, bapa Auki sebagai Orang yang Dituakan, bersama masyarakatnya menerima kedatangan ekspedisi P. Tillemans dengan ramah. Selama kurang lebih satu bulan di tempat itu, Bapa Auki telah mengusahakan supaya perwakilan-perwakilan dari Paniai, Tage, Tigi, Kammu, Moni, datang untuk bertemu dengan P. Tillemans MSC.
Menurut Bapa Markus Tekege (Pewarta Modio), cerita tentang upacara doa adat yang diadakan pada waktu itu seperti berikut;
“Pada waktu para perwakilan dari Timur (Paniai, Tage, Tigi, Kammu, Moni) tiba di Modio (Kadihopa), mereka berkumpul bersama. Pastor Tillemans MSC bersama rombongannya mengikuti upacara doa adat yang diadakan oleh Auki bersama dengan umat yang ada di Modio. Saat itu, mereka mempersembahkan kurban dua ekor babi yang satu berwarna hitam dan yang lainnya babi putih. Babi hitam tersebut setelah di panah mengalirkan darah sebagai simbol dosa disebabkan oleh perang suku, masalah perempuan, pembunuhan, dll. Sedangkan, babi putih disandarkan pada satu jenis pohon yang dalam bahasa daerah disebut otika dan saat itu, salah seorang dari antara mereka memanah pohon otika dan tampaklah suatu tanda heran bahwasanya pohon yang dipanah mengeluarkan darah. Peristiwa itu disaksikan oleh Pastor Tillemans bersama rombongannya, Auki, perwakilan dari Paniai, Tage, Tigi, Kammu, Moni, serta masyarakat Modio. Darah yang mengalir dari pohon tersebut dimaknai sebagai simbol penghapusan dosa dan segala pelanggaran yang dilakukan masyarakat Mee-Maphia. Mereka yakin bahwa peristiwa ajaib itu sebagai tanda datangnya kehidupan baru”.[14]
Upacara adat yang dilakukan dalam budaya suku Mee di Maphia ini merupakan hal yang mendasar dalam kehiduan mereka. Keajaiban ini terjadi ketika perjumpaan Gereja (P. Tillemans) dengan budaya (adat) suku Mee-Maphia. Sejak saat itu mereka semua percaya bahwa gereja membawa terang (Kristus) dan keselamatan bagi mereka. Dengan ini, Auki telah membuat sebuah tindakan penting. Para tokoh dari berbagai daerah ini mulai mengenal agama dan peradaban; dan tak kalah penting, Gereja dan Pemerintah Kolonial yang diwakili oleh P. Tillemans MSC dan dr. Bijmler terbuka matanya akan kondisi di Pegunungan Tengah yang dihuni banyak suku, banyak manusia, dengan tiga danaunya yang indah (Paniai, Tage, Tigi).
Setelah mengadakan doa adat di salah satu tempat di Modio, peletakan Injil dan Salib di Rumah Bapa Auki, Ekspedisi ini kembali ke pesisir. Selanjutnya, Modio dan umatnya, setelah berperan membuka mata akan situasi pegunungan bagi Pemerintah dan Gereja Katolik untuk beberapa waktu lamanya akan terlupakan. Berita mengenai hasil ekspedisi pertama ke Modio ini menjadi tersebar dan mendorong baik pemerintah dan Misi serta Zending untuk mengusahakan jalan lain menuju ke daerah dimana terdapat sekumpulan besar orang-orang di sekitar tiga danau.
Akhirnya ekspedisi kedua pada tahun 1937 dimana P. Tillemans juga bergabung telah memungkinkan dibukanya pos pemerintahan di Paniai (Enagotadi) dan karenanya juga pos misi. Misi Katolik mencurahkan perhatian dan energinya kepada Paniai dan daerah sekitar, sedangkan Modio, yang merupakan pintu pertama, terlupakan. Ada tiga alasan mengapa P. Tillemans mencurahkan perhatian besar kepada Paniai; dan hal ini nanti dijelaskan secara panjang lebar oleh para misionaris yang datang secara khusus kepada Bapa Auki. Pertama, keberadaan jalur Sungai Yawei yang relatif lebih mudah daripada jalur menuju Modio. Kedua, keberadaan Danau Paniai sebagai tempat landasan bagi pesawat amphibi yang mengangkut orang dan barang-barang. Ketiga, kompetisi dengan pihak zending yang juga hadir di Paniai. ‘Ancaman’ Kingmi membuat P. Tillemans harus membuat Auki dan Modio bersabar.
Paroki Santa Maria Bunda Rosario, Modio
Sesudah ditinggalkan oleh P. Tillemans pada tahun 1935, Auki tidak henti-hentinya berbuat sesuatu. Pada ekspedisi P. Tillemans kedua di tahun 1937, Bapa Auki datang ke daerah Paniai untuk membantu menjembatani perjumpaan P. Tillemans dengan masyarakat di Paniai. Di Paniai, P. Tillemans bertemu kembali dengan beberapa tokoh yang dahulu ia jumpai di Modio. Tidak hanya itu, Auki juga seringkali bepergian ke pesisir berjumpa dengan para misionaris memohon supaya di Modio didirikan pos misi sama seperti di Enaro. Belasan tahun Auki menunggu dan memohon. Sampai pada satu titik, ia begitu kecewa kepada P. Tillemans. Menurut Auki, P. Tillemans telah belajar kata-kata Mee dan tahu mengenai keberadaan tiga danau dari dirinya, namun, Modio ditinggalkan.
Pada tahun 1951, di saat Auki sudah mulai menjadi tua, dua pastor diutus oleh P. Tillemans untuk menjelaskan secara panjang lebar alasan-alasan mengapa Modio ditinggalkan. Sekarang, sesudah sekian lama, sudah saatnya untuk Modio juga dijadikan sebagai Paroki. Tahun 1952, P. Smith OFM ditugaskan di Paroki Modio. Bapa Auki dan rombongan menjemput Pastor Smith di Ugapuga, menunggu kedatangan P. Smith dari Obano. P. Smith menjadi pastor pertama Modio. Bersama dengan Auki, P. Smith seringkali bepergian ke daerah pesisir untuk berbelanja barang-barang kebutuhan. Akhirnya, pada tahun 1962, dalam kondisi terbaring di rumahnya, Bapa Auki dibaptis oleh P. Smith. Sesudah dibaptis, Auki meninggal dunia. Walaupun Auki telah membuka jalan bagi misionaris ke daerah pegunungan, dan walaupun ia telah berjuang agar Modio dijadikan sebagai Paroki, dan selalu bersama P. Smith membangun Gereja di Modio, namun P. Smith masih ragu untuk membaptiskan Auki karena keberadaan enam istrinya. Menjelang ajalnya, dengan cintah kasih yang sangat besar, P. Smith membaptis Auki dan merelakan ia pergi ke pangkuan Bapa di Surga.
Nama dan jasa Auki sebagai pembawa terang bagi masyarakat koteka di Pegunungan Tengah, sudah dikenal sejak dahulu. Peristiwa pengangkatannya menjadi peneguhan akan peran dan jasanya bagi Gereja Katolik dan juga bagi masyarakat Papua di Pegunungan Tengah (Mee, Migani, Dani). Nama Auki dan perannya dituliskan dalam catatan harian P. Tillemans MSC, catatan harian P. Smith OFM, buku “Sejarah Gereja Katolik di Irian Barat” tulisan P. Haripranata SJ, dan buku “Fransiskan Masuk Papua”, tulisan Jan Sloot.[15]
- Kearifan Budaya Lokal (Suku Mee-Mapiha) Menjadi Tempat Persiapan Bagi Pewartaan Injil
Tuntutan dalam setiap perjumpaan Gereja dengan Budaya setempat yaitu gereja perlu membuka hati untuk menerima dan memperlajari terlebih dahulu identitas: pengetahuan, karakter, keterampilan dalam berbagai bidang kehidupan mereka. Pada poin ini Gereja perlu memahami nama Mapiha itu sendiri. Menurut cerita-cerita dari Bapa Markus Tekege (pewarta), Yosep Gobai (pewarta), Martinus Kedeikoto (ketua dewan paroki Modio), Albertina Degei (Guru), Antonius Degei (Kepala Sekolah) bahwa:
“Mapiha berasal dari dua kata yakni: Ma artinya Benar dan Piha artinya Pohon maka ketika digabungkan keduanya menjadi Pohon Kebenaran (Pohon Kehidupan). Nama Mapiha yang digunakan sampai sekarang ini belum diketahui oleh orang-orang setempat mengenai siapa yang memberikan nama tersebut. Mereka hanya memakai nama itu dan memaknainya sebagai tempat kudus (Taman Eden yang Hilang Ditemukan di Maphia). Mereka menegaskan bahwa Maphia juga diartikan sebagai simbol kehadiran atau tanda munculnya Benih Kebenaran yang kemudian bertumbuh menjadi Pohon Kebenaran, munculnya nilai-nilai kebenaran yang dijadikan sebagai pegangan hidup, hadirnya jalan kebenaran dan cahaya kebenaran bagi mereka”.[16]
Tuhan telah menaburkan benih kebenaran dan kabar sukacita dalam setiap budaya karena Tuhan kita adalah Satu dan Kudus, Dialah Pencipta kita. Oleh karena itu, sikap Gereja bukan menghakimi melainkan menunjukkan sikap Yesus, “Aku datang bukan untuk meniadakan Hukum Taurat, melainkan melengkapinya” (Mat. 5:17), berarti sudah ada nilai kebenaran ada di dalam budaya setempat.
Yesus adalah Raja Semesta Alam dan bumi adalah tumpuan kaki-Nya (Yer. 10:10). Segala sesuatu yang berada di bawah kolong langit adalah saudara-Nya. Langit dan bumi digambarkan secara antropomofis, sebagai “suami dan isteri” atau ayah-ibu. Gagasan ini menempatkan manusia dalam ruang kehidupan keluarga alam semesta. Langit adalah ayah dan bumi adalah ibu. Isi bumi, alam ciptaan dan manusia, adalah anak-anak yang lahir dari perkawinan “langit dan bumi”. Seluruh alam ciptaan adalah saudara-saudari sekeluarga (bdk. Kidung Saudara Matahari). Santo Fransiskus Asisi misalnya, menyapa segala ciptaan di dunia ini dengan sapaan Saudara, “Terpujilah Engkau Tuhanku, karena saudari bulang dan bintang-bintang… Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena saudara angina… karena saudari Api… karena saudari ibu pertiwi.”[17] Demikian juga ditegaskan oleh Rasul Paulus bahwa ketika kita masih ada di dunia ini, kita masih melihat Allah dengan samar-samar, tetapi kita akan memandang muka dengan muka di sorga (1Kor. 13:12). Konsep antropologis seperti ini akan memperkaya gagasan serta inspirasi bagi kita dan sekaligus menunjukkan kepada kita, kebenaran yang didengungkan Vatikan II, bahwa kearifan budaya lokal menjadi tempat persiapan bagi pewartaan Injil (preparatio evangelica)[18].
Kearifan budaya lokal dalam suku Mee-Mapiha seperti yang diceritakan sebelumnya mengenai Doa dan upacara adat serta cerita terkait makna nama Mapiha tersebut merupakan sarana bagi Gereja untuk berdialog dengan budaya lokal. Di sini, Gereja menjemput, mengangkat dan menghidupi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Mee-Mapiha kemudian menghubungkan apa yang menjadi kesamaan antara nilai/sabda kebenaran dalam budaya dengan Kabar Sukacita Injil supaya dijadikan dasar/pedoman bagi kehidupan mereka untuk semakin kuat menghadapi tantangan zaman.
Benang merah atau keterkaitan antara kearifan budaya lokal Suku Mee-Mapiha dengan nilai-nilai Alkitabiah seperti berikut:
Kearifan budaya lokal (sabda yang sudah ada) dalam Budaya Mee-Mapiha | Budaya Yahudi (PL) | Nilai Injil (PB) | Makna |
|
|
|
|
4. Mapiha:
– Benih Kebenaran – Pohon Kebenaran – Orang Mee-Maphia dipanggil menjadi ranting yang menghasilkan buah kebenaran dalam gai, dimi, ekowai |
– | Yesus:Pohon Kebenaran sebagai sumber/pokok kebenaran. | – |
- Gereja Keuskupan Timika Mengangkat Kearifan Budaya Lokal (Suku Mee-Mapiha) melalui GERTAK (Gerakan Tungku Api Keuskupan)
Usaha masuk dan menyatuhkan pikiran dan perasaan di tengah umat suku Mee, Paroki Modio, Keuskupan Timika di Papua, tentu banyak berhadapan dengan suasana memprihatinkan, mengajak semua pihak (Gereja) untuk serius menanggapi masalah umum terjadi: pelanggaran Hak Asasi Manusia, pereduksian nilai budaya, dan penataan ekonomi yang semakin jauh dari harapan semua pihak. Di tengah masa transisi (dari tradisional menuju zaman modern) yang sedang dilalui masyarakat asli Papua (Mee-Mapiha), ditandai juga perubahan kehidupan yang tidak manusiawi seperti kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan dan ketidakteraturan. Dalam bahasa teologi, manusia dalam menjalani aktifitas hariannya tidak lagi menghargai alam, sesama dan memutushubungannya dengan Tuhan akibat kesombongan manusia. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa perceraian antara ajaran iman dan praksis hidup harian merupakan salah satu kesesatan paling gawat pada masa kini.[19]
Gereja di Keuskupan Timika yang dimotori oleh Alm. Bapak Tungku Api, Mgr. Yohanes Philip Gaiyabi Saklil, dengan serius menanggapi permasalahan yang ada dengan menghidupkan suatu Gerakan Tungku Api Keuskupan untuk menjaga dan melindungi nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Gerakan ini perlahan mendorong masyarakat (umat) dengan mandiri untuk menangkal pengaruh globalisasi yang kian menantang identitas gereja dan budaya setempat.
Bapak Tungku Api sebagai Putra Papua, sungguh mengalami: melihat, merasa dan berpikir serta merefleksikan situasi setempat semasa tersebut dan mencari solusi alternatif untuk menuntun serta memberdayakan umatnya agar merasakan sukacita kasih, keadilan dan mandiri mengolah tanahnya sendiri. Beliau Sungguh peduli dan tanggap terhadap umat yang membutuhkan, berani menentang institusi dan menghancurkan segala penghalang (menentang kebijakan penarikan guru PNS), berkunjung ke rumah umat dan segenap pemimpin pendukung visi (membuka pintu dialog dan menghampiri orang yang dikecam masyarakat), membela domba-domba yang akan dirajam oleh orang-orang yang berkuasa (berani menyuarakan hak hidup atas para korban penembakkan di Paniai dan mengingatkan semua orang pada kesucian); Memberikan teladan yang nyata bagi para imam dan domba-dombanya; Mengorbankan dirinya (konsisten mengejar visi, misi, dan tujuan hidup banyak orang).
Gerakan tungku api menjadi gerakan keprihatinan Uskup Timika terhadap krisis budaya, kemanusiaan dan ekonomi yang menimpa umatnya di Keuskupan Timika pada khususnya dan Papua pada umumnya, yang dimulai sejak tahun 2018. Gerakan tungku api ini merupakan gerakan bersama karena itu, Komisi PSE (pengatur dana), SKP keuskupan Timika (penggerak), mendorong dekenat dan paroki untuk menyamakan langkah dalam mewujudkan gerakan ini.
Inti dari gerakan tungku api adalah perlindungan sumber hak hidup masyarakat asli dan pengelolaan sumber hak hidup. Dalam praksis di lapangan telah dilaksanakan kegiatan sbb: Pemetaan wilayah kampung dan Penandaan wilayah (penanaman salib/pagar, pembuatan goa Maria dan tempat-tempat doa serta keramat/ area sejarah dan ziarah).
Tentang persoalan-persoalan ini Ajaran Sosial Gereja dalam Quadragesimo Anno telah memberikan titik terang untuk Gereja turut menyuarakan dan berpartisipasi dalam masalah sosial dan ekonomi sebagai masalah etik, sebab masalah-masalah ekonomi adalah tanggung jawab manusia atas kelangsungan hidup secara manusiawi. Hidup manusia dikatakan manusiawi, jika senantiasa mengarahkan perhatiannya pada yang transenden. Maka dalam arti yang khas, Gereja pun bertanggung jawab dalam masalah ekonomi dan sosial. Kini Gereja terlibat pada masalah perkembangan dalam rangka tugas pastoral Gereja.[20]
Pastor Paroki Santa Maria Bunda Rosario, Modio, RD. Alfonsus Biru Kira, Pr mengambil bagian dalam imamat Uskup dalam hal program GERTAK terpusat pada empat hal: 1. Renovasi Makam Auki, 2. Pembangunan Hamewa/Kapela untuk Auki di lokasi tanah Bapak Auki 3. Pembangunan Monumen Pertemuan Para Tonawi Meuwo dengan Pater Tillemans. 4. Areal Misa Pertama Meuwo (25 Desember 1935) yakni di atas Kombas Epoutokotu. Di sekitar empat titik itu, taman doa/tempat doa di setiap Kombas, goa maria, dan Jalan Salib dibangun untuk mendukung wisata rohani. Tempat doa tidak lagi hanya di dalam Gereja, tetapi juga di alam terbuka dimana terdapat mata air dan batu-batu besar serta goa.
Bentuk reksa pastoral ini merupakan strategi menanggapi keprihatinan yang telah disebutkan di atas. Sungguh suatu mukjizat ketika di Paroki Modio areal bersejarah dan berziarah ini terbangun, dimana umat katolik, masyarakat setempat sungguh-sungguh bisa berdoa dan hidup dengan aman dan nyaman. Suatu daerah yang sangat katolik dan bercorak Papua dimimpikan terjadi di Mapiha yang membantu umat bertumbuh dan berakar pada Injil dan budaya lokal.[21] Suatu tempat dimana perubahan dan para pengunjung yang datang menyesuaikan diri karena melihat monumen dan tempat doa yang ada di areal bersejarah dan berziarah.
C. PENUTUP
KESIMPULAN
Gereja dipanggil untuk menyucikan dunia dengan berorientasi pada satu hal yakni umat Allah semakin bersatu dalam peziarahan mereka kepada Allah Bapa. Rasul Paulus dalam suratnya kepada umat di Efesus merumuskan demikian “Oleh Kristus kita dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.” (Ef 2:18-22). Sangat jelas gagasan Paulus tersebut merupakan panggilan bagi para pemimpin umat bersama umatnya menjalankan fungsinya sebagai (imam: menguduskan, nabi: mewartakan, raja: memimpin) mengelola Gereja di sebuah wilayah pelayanannya yang dilatarbelakangi oleh multi budaya dan sekelumit masalah. Di sini ada tiga hal yang menjadi sasaran pokok dalam pelayanan membangun gereja lokal: Pertama: Membentuk kawan sewarga rapi tersusun, baik rohani maupun jasmani secara utuh. Kedua: tumbuh serta segar, vital dan sanggup bertahan. Gereja hadir untuk memberi dan menerima serta bertumbuh dalam budaya setempat untuk menumbuhkan dan menghidupkan nilai-nilai budaya dan jati diri Kristiani secara lokal. Kehadirannya membawa harapan dan kesegaran serta mempertahankan nilai-nilai budaya dari ancaman pengaruh perkembangan zaman sekarang. Upaya pembangunan yang dihadirkan Gereja adalah usaha karitatif (memberikan bantuan), revormatif (aspek pembangunan) dan transformatif (memberikan pelatihan dan penyadaran bagi umat). Ketiga: Agar menjadi tempat kediaman Allah yang kudus di dalam Roh, bumi serta segala isinya perlu dijaga. Cara untuk menjaganya adalah menggunakan akal budi kita untuk berkreasi di bawah naungan Roh Kudus dan secara bijak mengolah rumah dan dusun demi mencapai kebahagiaan tertinggi.
Gereja adalah pribadi kita sendiri yang hidup tidak terlepas dari budaya. Kita adalah orang berbudaya juga yang percaya kepada Kristus, kita sebagai tubuh mistik Kristus dan sebagai rantingnya harus menghasilkan buah yang benar dari pokok yang benar (Kristus). Seperti yang diserukan oleh Paus Fransiskus dalam Christus Vivit bahwa Gereja sebagai Bunda mengamalkan kasihnya untuk merangkul sesamanya sebagai satu tubuh dan bersama-sama menghadirkan Kerajaan Allah.
Oleh karena itu, Gereja dipanggil untuk menjalankan misi masuk melalui budaya setempat (mencari dan menemukan nilai luhur, menghargai, mempelajari, serta mengamalkannya), kemudian mengintegrasikan kesamaan nilai kebenaran dalam budaya lokal dengan nilai Injil sambil menunjukkan dan menegaskan bahwa kabar sukacita Injil yang diwartakan bukan untuk meniadakan nilai-nilai luhur yang sudah ada, tetapi Injil Yesus Kristus itulah yang menyempurnakannya.
- Kebaruan yang ditemukan dalam pembahasan topik tentang Gereja dan Budaya
Budaya lokal adalah lahan mewartakan Injil
Mengangkat tokoh gereja (Auki) yang berperan membawa Sabda bagi masyarakat koteka.
Program Gerakan Tungku Api menjaga dan melindungi budaya dan keanekaragaman hayati umat setempat.
Membangun tempat sejarah dan wisata rohani (monument bersejarah perjumpaan misionaris awal dengan budaya suku Mee-Mapiha)
- Teologi Dasar
Kita semua umat beriman Kristiani (Eklesiologi = Tubuh mistik Kristus) yang telah ditebus oleh darah Yesus, bertobat dan bersatu dengan Bapa harus mewujudkan kesatuan itu dengan sesama dan alam ciptaan sebagai saudara dalam Tuhan (Laudato ‘Si).
Setelah kita ditebus dalam darah Anak domba Allah (Yesus), kita dipanggil menjadi saksi menjalankan misi penyelamatan Allah dalam kehidupan kita setiap hari, kapan dan di manapun kita berada (Misiologi). Kita adalah (Gereja=Sakramen) menjadi tanda dan sarana kehadiran Allah yang menyelamatkan yang ditunjukkan melalui iman dan perbuatan kita. Kristus sebagai kepala dan kita adalah anggota tubuh mistik Kristus berjalan dalam kehendak Allah demi mewujudkan Kerajaan Allah.
Yesus adalah puncak pewahyuan diri Allah yang sempurna. Sejak awal mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu Adalah Allah (Yoh. 1:1). Sejak awal Allah bersama Roh-Nya berkarya memberkati segala ciptaa-Nya. Tampak juga Roh itu melayang-layang di atas air untuk memberkati ciptaan dan juga penyataan diri Allah terjadi melalui tanda-tanda seperti: Tiang awan dan api yang membakar semak belukar. Dari tanda-tanda ini kita memahami bahwa Allah memakai ciptaannya untuk menampakan diri-Nya bagi manusia dalam setiap budaya (termasuk budaya Mee-Mapiha).
Allah Adalah Kasih (1Yoh 4:8), melalui berbagai macam cara Ia mewahyukan diri-Nya kepada umat manusia yang berpuncak pada peristwa inkarnasi (Penjelmaan Sabda menjadi daging). Dalam mewujudkan karya keselamatan Allah, ketiga pribadi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus bersama-sama berkarya menguduskan dunia. Misi penyelamatan Allah terlihat jelas dalam figur Yesus Sang Mesias yang hidup, sengsara, wafat di kayu Salib dan bangkit dari antara orang mati.
Yesus menjadi Jalan kebenaran dan hidup. Ia mejadi dasar, pedoman, aturan dan teladan hidup kita. Jika kita umat-Nya (ranting) ingin hidup kekal, maka kita harus mendekatkan diri atau bersatu (komunio) dengan Yesus Sang Pokok kebenaran dan hidup.
- Rekomendasi
Setelah saya membahas mengenai topik ini, maka kami merekomendasikan agar semua pihak, baik:
- Pemerintah tingkat Provinsi Papua Tengah dan kabupaten serius memahami dan menanggapi pergumulan hidup masyarakat terkait Gerakan Tungku Api (GERTAK) untuk mengangkat dan melestarikan iman umat yang bertumbuh dan berakar dalam budaya setempat (Mee-Mapiha)
- Gereja hendaknya lebih pekah, semangat dan membangun tubuh mistik kristus melalui GERTAK agar keselamatan jiwa-jiwa dan Kerajaan Allah dapat dirasakan oleh Umat TUhan.
PENULIS: DIAKON BASTIAN LIWU
DAFTAR PUSTAKA
- Pekei Titus Christ. 2008. Manusia Mee di Papua: Proteksi Kondisi Dahulu, Sekarang dan Masa Akan Depan diatas Pedoman Hidup, Yogyakarta: Galangpress.
- Pigai Benny Makewa. 2011. Ekonomi Owaada Dimulai dari Halaman Rumah Tiap Keluarga, Jayapura: Daiyai.
- 1993. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
- Uti, Fransiskus. Pandangan Suku Bangsa Mee tentang Ekowai (kerja) dan Relevansinya dengan Teologi Kristen tentang Kerja (Skripsi)
- Jan Boelaars. 1986. Manusia Irian Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Gramedia: Jakarta
- Koentjaraningrat dan Selo Sumardjan. Penduduk Irian Barat, Kanisius: Yogyakarta
- Seputra, A.Widyahadi, RDF.A. Teguh Santoso, G.N. Aswin, Y.Edi Mulyono, Sj. (eds):“Kerja-Wujud Bela rasa,” Konsorsium Pengembangan Pemberdayaan Pastoral Sosial Ekonomi, Gunung Mulia: Jakarta
- Pigai, Benny Makewa. 2011. Ekonomi Owaada Dimulai dari Halaman Rumah Tiap Keluarga, Jayapura: Daiyai.
- Y. 2014. KEPEMIMPINAN KRISTIANI Melayani Sepenuh Hati, Yogyakarta: Kanisius
- Sloot, Jan. 2012. FRANSISKAN MASUK PAPUA Jilid I: Periode Pemerintahan Belanda 1937-1962, Kustodia Fransiskus Duta Damai Papua, Papua
- Hardawiryana, R. 2009. Dukumen Konsili Vatikan II, Terjemahan Cet. 10-Agustus. Obor: Jakarta
- Gobry, Ivan. FRANSISKUS DARI ASISI, Ende-Flores: Nusa Indah. (Diterjemahkan oleh A. Soejitno dan P. Wahjo OFM dari Judul Asli: Saint Francois d’Assise).
- Banawiratma, J.B. SJ. 1990. “Aspek-aspek Teologi Sosial”, Yogyakarta Kanisius, Cetakan kedua
- Kira, Alfonus Biru. PENGANGKATAN BAPA AUKI TEKEGE SEBAGAI TOKOH GEREJA KATOLIK, Modio
- Sebastianus Ture Liwu, Calon Imam Projo Keuskupan Timika mengadakan kunjungan dan wawancara dengan Bapa Markus Tekege keluarga Bapa Auki Tekege selama menjalani formasi dari Tahun Orientasi Pastoral (2019) sampai menyelesaikan formasi Tahun Orientasi Karya (2021).
- https://jpicofmindonesia.org/2019/01/gereja-dan-budaya-lokal-perspektif-asg%EF%BB%BF-bagian-ii/ diunduh pada 26/9/21
[1] https://jpicofmindonesia.org/2019/01/gereja-dan-budaya-lokal-perspektif-asg%EF%BB%BF-bagian-ii/ diunduh pada 26/9/21
[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal 9.
[3] Fransiskus Uti, Pandangan Suku Bangsa Mee tentang Ekowai (kerja) dan Relevansinya dengan Teologi Kristen tentang Kerja (Skripsi)
[4] Jan Boelaars., Manusia Irian Dahulu, Sekarang, Masa Depan, (Gramedia: Jakarta, 1986), hlm. 85.
[5] Koentjaraningrat dan Selo Sumardjan, Penduduk Irian Barat, (Kanisius: Yogyakarta, 1963), hlm. 300.
[6] Titus Christ Pekei,..Manusia Mee di Papua: Proteksi Kondisi Dahulu, Sekarang dan Masa Akan Depan diatas Pedoman Hidup, Yogyakarta: Galangpress, 2008), hlm. 25.
[7] Ibid, hlm. 25-26.
[8] Pupu Papa dapat di lihat dan diartikan secara harafia dan secara etimologis. Secara harafiah bahwa Pupu artinya benih dan Papa artinya cahaya, maka diartika secara etimologis artinya “benih cahaya”. Tetapi, peneliti merefleksikan secara bebas diartikan bahwa tempat suci atau tempat bercahaya menebarkan benih (manusia) di mana manusia itu asal dan tempat asal manusia.
[9] A.Widyahadi Seputra, RDF.A. Teguh Santoso, G.N. Aswin, Y.Edi Mulyono, Sj (eds):“Kerja-Wujud Bela rasa,” Konsorsium Pengembangan Pemberdayaan Pastoral Sosial Ekonomi, (Gunung Mulia: Jakarta 2013), hlm. Vii-viii.
[10] Benny Makewa Pigai, Ekonomi Owaada Dimulai dari Halaman Rumah Tiap Keluarga, (Jayapura: Daiyai.
2011), hlm. 53)
[11] Titus Pekei Christ, Op.Cit. hlm. 127 – 138
[12] Y. Gunawan, KEPEMIMPINAN KRISTIANI Melayani Sepenuh Hati (Yogyakarta: Kanisius, 2014) hlm. 28.
[13] Alfonus Biru Kira, Op. Cit.
[14] Sebastianus Ture Liwu, Calon Imam Projo Keuskupan Timika mengadakan kunjungan dan wawancara dengan Bapa Markus Tekege keluarga Bapa Auki Tekege terkait cerita sejarah gereja Katolik masuk di Modio dan adat istiadat budaya setempat. Setelah bercerita, Bapa Markus Tekege mengajak saya melihat pohon Otika yang pernah dipanah kemudian mengeluarkan darah. Wawancara dilakukan selama menjalani formasi dari Tahun Orientasi Pastoral (2019) sampai menyelesaikan formasi Tahun Orientasi Karya (2021).
[15] Jan Sloot, FRANSISKAN MASUK PAPUA Jilid I: Periode Pemerintahan Belanda 1937-1962 (Papua: Kustodia Fransiskus Duta Damai Papua, 2012) hlm. 215-219. Nama Auki Tekege, Tokoh Gereja yang mencari, menemukan dan membawa terang Injil bagi masyarakat koteka di Meuwodide.
[16] Sebastianus Ture Liwu, Calon Imam Projo Keuskupan Timika mengadakan kunjungan dan wawancara dengan Bapa Markus Tekege keluarga Bapa Auki Tekege (pewarta), Yosep Gobai (pewarta), Martinus Kedeikoto (ketua dewan paroki Modio), Albertina Degei (Guru), Antonius Degei (Kepala Sekolah SD YPPK TILLEMANS, Putaapa) terkait cerita sejarah gereja Katolik masuk di Modio dan adat istiadat budaya setempat. Wawancara dilakukan selama menjalani formasi dari Tahun Orientasi Pastoral (2019) sampai menyelesaikan formasi Tahun Orientasi Karya (2021) .
[17] Ivan Gobry, FRANSISKUS DARI ASISI (Ende-Flores: Nusa Indah, 1978) hlm. 60. (Diterjemahkan oleh A. Soejitno dan P. Wahjo OFM dari Judul Asli: Saint Francois d’Assise).
[18] Dukumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium art. 16. Terjemahan: R.Hardawiryana,SJ, Cet, 10-Agustus 2009, Jakarta Obor: 2009
[19] Dukumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium Et Spes art. 43. Terjemahan: R.Hardawiryana,SJ, Cet, 10-Agustus 2009, Jakarta Obor: 2009
[20] Editor: J.B.Banawiratma,SJ, “Aspek-aspek Teologi Sosial”, (Yogyakarta Kanisius, Cetakan kedua: 1990), hal. 120
[21] Bdk. Motto Pesta Emas 50 tahun STFT FAJAR TIMUR: Berakar dalam Injil, Bertumbuh pada Budaya. Inilah salah satu sumber inspirasi bagi pertumbuhan dan perkembangan Gereja Katolik di Tanah Papua. Keberakarannya pada Injil menjadikannya universal terbuka bagi semua yang ingin menjadi pengikut Kristus. Kebertumbuhannya pada budaya menjadikannya kontekstual, inkarnatoris, memperkuat iman para murid Kristus.