Dalam tulisan ini kami menemukan dua persoalan utama dalam persoalan tanah Papua. Pertama, orang Papua (tidak semua orang Papua, hanya sebagian saja) malakukan aktivitas jual beli tanah. Dan kedua adalah Negara Indonesia secara otoriter mengeksploitasi ekologi Papua. Melihat dari kedua persoalan ini, pertanyaannya adalah kenapa kebanyakan orang Papua masih memperjuangkan tanah ‘alam’ Papua? Kenapa ada seruan moral dari para pemimpin gereja seperti Mgr. Yanuarius Theofilus Matopai You (Uskup Keuskupan Jayapura) menyuarakan orang Papua stop jual tanah adat! Seruan lain seperti Mgr. Yohanes P. Saklil (Alm. Uskup Keuskupan Timika) yang mengatakan “orang Papua tidak bisa hidup tanpa tanah”. Satu pertanyaan dan dua seruan moral ini muncul karena tanah Papua mengalami persoalan yang dramatis dan menghantarkan manusia Papua pada posisi kehilangan harapan hidup dan kepunahan. Justru kehilangan harapan hidup dan kepunahan itulah tulisan ini hadir untuk mengambarkan konsep dasar manusia Papua tentang tanah Papua.
Tanah Papua Menurut Orang Papua
Untuk memahami tanah Papua dalam padangan manusia Papua disini kurang lebihnya kami menguraikan dan menuliskan berdasarkan kajian dua antropolog Papua tentang tanah Papua.
Pertama, Oksianus K. Bukega S.S
Oksianus Kotipky Maximilianus Bukega, (seorang Pastor Katolik, disapa Pastor Oksi) menuliskan buku yang berjudul “Orang Papua Stop Menjual “Mama” Tanah Papua: Fenomena dan Seruan Sebagai Upaya Penyelamatan Tanah Papua Sebagai ‘Mama’ di Tengah Kemendesakan Masa Kini” (2021). Secara umum hemat kami isi buku tersebut terdapat dua bagian besar yaitu; bagian pertama dijelaskan konsep tanah secara umum dan pemahaman orang Papua tentang tanah yaitu sebagai mama; dan bagian kedua bagaimana orang Papua memperjuangkan dan menyelamatkan manusia dan tanah Papua. Namun secara spesifik kesimpulan umum dari isi buku tersebut yang kami simpulkan adalah Pastor Oksi hendak menyatakan bahwa orang Papua memandang tanah sebagai mama yang melahirkan, menbesarkan dan menghidupkan anak-anak Papua.
Konsep filosofis sebagai ‘mama’ merupakan konsep dasar secara umum yang lahir dari kesadaran toh orang Papua dalam relasinya secara integral ‘pengalaman pribadi’ dengan alam sekitarnya ‘tanah’. Dapat dikatakan tanah bagi orang Papua sebagai mama disebabkan atau dapat dilihat dari peran tanah dalam kehidupan orang Papua itu sendiri. Tanah Papua berperan sebagai mama (ibu) yang memberi kehidupan, mama (ibu) yang memberi susu dan madu bagi kelangsungan hidup penghuninya (Oksi, 2021: xi). Jika tanah disebutkan sebagai mama berarti bahwa tanah Papua itu adalah manusia Papua. Ataupun sebaliknya, manusia Papua adalah tanah. Antara manusia Papua dan tanah Papua memiliki relasi intim yang tak terpisahkan. Pastor Oksi mengambarkan tanah Papua yang disebutkan sebagai mama itu dalam sehakekat, semartabat dan senilai sebagai manusia ‘seorang Perempuan’ yang memiliki rahim. Menurutnya aspek terdalam dari hakekat seorang mama ‘perempuan’ adalah Rahim (Oksi, 2021: 9).
Kedua, Dr. Albertus Herianto
Kajian antropologis tentang pemahaman orang Papua terhadap tanah kita bisa paham dan mengerti dengan kajian seorang dosen Anropologi yaitu Albertus Heriayanto yang menkaji tentang persoalan tanah adat di Papua dengan menuliskan sebuah artikel ilmiah dengan judul “Tanah Bukan Sekedar Tanah; Analisis Antropologis atas Masalah Pertanahan di Papua”. Tulisan tersebut Heriayanto menuliskan bersadarkan tiga padangan utama yaitu pandangan Kosmologis, Pandangan sosio-ekonomis dan Pandangan sosio-politis.
Pandangan Kosmologis
Berdasarkan padangan kosmologis, Heriyanto mengarisbawahi atau mengambarkan konsep dasar orang Papua terhadap tanah dari dua suku yaitu Asmat dan Amugme. Dalam kepercayaan masyarakat Asmat misalnya, tanah (se), bumi tempat manusia menjalani hidupnya ini dianggap sebagai Ibu Asali. Adapun figur bapa dikenakan pada matahari. Matahari seringkali disapa sebagai Bapa (Die), dan dipandang sebagai simbol Realitas Ilahi (Joo). Bagi orang Asmat, tanah, adalah realitas yang berperan besar dalam menghadirkan, memberi hidup, dan membesarkan manusia (Heriyanto, 2016: 40). Sementara dalam suku Amugme konsep tentang tanah tak terlepas dari asal usul suku tersebut. Artinya bahwa Mitos tentang asal-usul Suku Amungme pun mengungkapkan pemahaman bahwa tanah adalah ibu yang melahirkan tanaman, hewan, dan manusia (Heriyanto, 2016: 40). Bahkan dalam mitos ini tanah tidak saja digambarkan sebagai ibu yang melahirkan, melainkan juga ibu yang mengurbankan diri bagi kehidupan anak-anaknya. Ia rela dibunuh, kemudian tubuhnya dibagi menjadi empat, kemudian disebarkan ke empat penjuru mata angin. Bagian kepala ditanam di Utara sehingga membentuk daerah pegunungan. Karena itulah wilayah pegunungan dipandang sebagai wilayah sakral, tempat bersemayamnya arwah leluhur dan menjadi tujuan arwah semua orang yang meninggal. Bagian leher hingga pusar dibagi dua (kiri dan kanan). Tubuh bagian kiri ditanam di wilayah Timur dan yang kanan di wilayah Barat sehingga membentuk sembilan lembah yang disediakan oleh sang ibu sebagai tempat bermukim dan mencari makan. Di lembah-lembah itulah orang Amungme dapat berburu, menebang sagu, mencari ikan, dan melakukan berbagai aktivitas sosial.
Kedua suku tersebut memandang tanah sebagai mama. Yaitu pertama adalah mama yang melahirkan segala sesuatu, tanaman, hewan dan manusia. Kedua adalah mama yang mengandung dan melahirkan, ibu yang senantiasa menyusui anak-anaknya, ibu yang senantiasa memberi makan dan memberikan apa pun yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Konsep yang sama juga ada dikalangan suku kekerabatan di Papua lainnya. Jadi, secara umum Heriayanto mau menyatakan bahwa dalam pandangan kosmologis bahwa tanah bagi orang Papua adalah mama yang memberikan segala sesuatu terutama kebutuhan hidup.
Pandangan sosio ekonomis
Dalam pandangan sosio-ekonomis Heriayanto mejelaskan bahwa dalam kehidupan ekonomi tradisional, leluhur suku-suku bangsa di Papua umumnya adalah peramu. (misalnya: Marind-anim, Asmat, dan Kamoro) dan peladang berpindah (misalnya: Maybrat, Mee, Ngalum, atau pun Muyu). Dalam kehidupan suku-suku peramu, tanah adalah tempat di mana mereka bisa memperoleh segala yang mereka butuhkan secara instan, baik makanan, minuman, pakaian, bahan bangunan, dan sebagainya. Di sanalah mereka bisa menebang sagu, memetik buah dan sayuran yang tak pernah mereka tanam, menangkap ikan atau pun memburu hewan yang tak pernah mereka pelihara. Semua itu disediakan oleh alam (2016: 42).
Bagi kaum peladang berpindah, tanah adalah sumber pertumbuhan, sumber kesuburan, bagaikan ibu yang senantiasa mendukung apa yang diupayakan oleh anak-anaknya. Sebagai peladang, mereka pun sangat terikat, bahkan tergantung pada tanahnya. Mereka memang sudah mengolah tanah secara sederhana, namun pada dasarnya masih meramu juga. Di tanah (hutan, lembah, rawa, sungai, muara, hingga ke tepian laut) yang mereka klaim sebagai miliknya mereka berkebun, tapi juga berburu, menangkap ikan, memetik buah, menebang sagu, dan sebagainya. Jadi, tanah adalah sumber pemenuhan kebutuhan ekonomis.
Jadi alam “tanah” menjadikan sebagai sumber kehidupan. Segala yang dibutuhkan dapat disediahkan oleh alam. Misalnya, bagi masyarakat peramu disediakan oleh alam adalah ada ikan, ada udang, ada pohon sagu, ada babi, kuskus dan segala kebutuhan lainnya yang tidak dapat dipelihara. Sementara bagi masyarakat peladang adalah cara mengolah tanahnya secara sederhana saja namun hasil yang didapatkan merupakan lebih dari yang itu. Maka, dalam pandangan sosio-ekonomis orang Papua alam ‘tanah’ dapat dipandang sebagai sumber kehidupan.
Pandangan sosio Politik
Dalam padangan sosio Politik Heriyanto menyatakan bahwa tanah adalah eksistensi orang Papua. Suku-suku bangsa di Papua menyatakan eksistensinya dengan melakukan klaim atas hutan, gunung, lembah, sungai, dusun, rawa, yang mereka anggap sebagai wilayah kekuasaannya (2016: 43). Ketika satu kelompok yang menyatakan eksisintesinya terhadap wilaya kekuasaan kelompok lain, disitu akan melahirkan konflik horizontal. Sebab bagi masyarakat peramu dusun, hutan dan alam tersebut sesuatu yang sangat penting. Demikian juga bagi masyarakat peladang. Keduannya mempertanahkan eksisitensi hidup dan lebih dari pada itu adalah identitas dan harga diri. Oleh karena itu, tidak heran kalo orang Papua saling mempertahankan wilaya kekuasaannya dari dulu hingga kini.
Tanah Papua adalah manusia Papua
Jelas bahwa berdasarkan kajian kedua antropog diatas memiliki konsep yang sama tentang pemahaman tanah menurut orang Papua yaitu mama. Penyebutan tanah sebagai mama berarti seorang manusia (perempuan) yang memiliki nilai, martabat dan hakekat yang sama dengan manusia (perempuan) lain yaitu manusia Papua. Aspek terdalam dari seorang mama/perempuan adalah Rahim. Karena melalui Rahim itulah seorang perempuan dapat dikatakan sebagai mama yang melahirkan dan memberikan segala kebutuhan seorang anak. Hubungan atau relasi antara tanah dan manusia Papua merupakan bagain dari satu-kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Keduanya memiliki hubungan intim secara holostik dan integral. Konsep ini secara teologis jelas bahwa manusia dibentuk dari tanah (Kej. 2:19). Maka, dapat dikatakan bahwa ‘Tanah Papua adalah manusia Papua’. Dan sebaliknya, ‘Manusia Papua adalah Tanah Papua’.
Alasan inilah orang Papua memperjuangkan diri yang terdapat, ada dan tinggal bersama Tanah itu. Artinya bahwa orang Papua memperjuangkan tanah tidak melihat tanah sekedar tanah atau sesuatu yang bersifat objek tetapi melihat makna yang terdapat dan yang tersembunyi didalam tanah yaitu manusia ‘mama’ (seorang perempuan). Dengan demikian, orang Papua yang menjual tanah berarti menjual mamanya dan dirinya. Demikian juga bahwa Negara Indonesia mengeksploitasi tanah Papua berarti merusak tubuh (seorang mama) manusia Papua.
Penulis: Lewi Pabika (Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) ‘Fajar Timur’ Abepura-Papua)