Majalah Gaiya

MENEMUKAN YESUS KRISTUS DALAM BUDAYA SETEMPAT

Sebuah Tinjauan Kristologi

Prolog

Budaya adalah pikiran, akal budi: hasil atau sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang  atau sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah[1].  Budaya itu selalu dihidupi karena ada manusia. Begitupun manusia tanpa budaya adalah bukan manusia yang berbudaya. Budaya dan manusia adalah dua hal yang seolah tak terpisahkan, sebab  pada dasarnya manusia terkait erat dengan  komunitas di mana ia hidup. Maka  tiap-tiap individu memiliki karakteristik atau perilaku tertentu. Maka muncullah manusia-manusia yang erat menyatu dengan budaya di mana ia tinggal, bahkan sudah mendarah daging, tercermin dalam pola pikir, perilaku, adat kebiasaan.

Budaya adalah konteks nyata tempat Injil berjumpa dengan manusia yang tinggal di dalamnya. Ia mewakili cara hidup untuk suatu masa dan tempat tertentu, dipenuhi dengan nilai, lambang dan makna, menjangkau harapan-harapan yang ada. Tanpa kepekaan terhadap konteks budaya, maka gereja dan teologi tidak akan berakar. Perkembangan gereja dan teologia di suatu tempat dipengaruhi oleh kebudayaan yang ada dalam tempat tersebut [2]. Kalau kita kembali memaknai Yesus, Dia mejadi budayawan sejati dan sekaligus antropolog sejati. Selama masa pewartaanNya Ia masuk dalam budaya saat itu dan orang boleh menerima dan kagum dengan Yesus. Mengapa demikian? Karena manusia tidak terpisahkan dari budaya.

Yesus dalam Budaya

Manusia dan budaya tak dapat dipisahkan. Hal ini adalah adalah kenyataan universal yang tak perlu langsung dimasalahkan. Keduanya berjalan bersamaan mengapa demikian? Karena satu fenomena kehidupan, maka ditelah bersama terutama dalam kaitannya satu dengan yang lain. Bila “Aku” ini subjek maka “Budaya” adalah objek-objek yang dihadapinya[3]. Setiap budaya dalam kehidupan manusia, misalnya di Asia lebih dominan bicara mengenai kebudayaan.  Yesus sebagai pewarta dan manusia sebagai pendengar wartaNya. Yesus sebagai subjek dan budaya sebagai objek. Kepribadian Yesus itu adalah berbudaya. Ketika budaya mengenal budaya lain disitulah terjadi relasi yang sehat dan saling menerima sebagai sahabat hidup. Ketika manusia keluar dari arena budaya sama halnya dengan melupakan budaya. Karena kepribadian-Nya itu miskin Ia masuk melalui budaya.

Manusia berbudaya adalah manusia yang miskin tetapi tahu sopan santun, tatacara hidup, dan punya kebijaksanaan yang tinggi tetapi lemah dalam menuliskan kebijaksanaan itu secara tertulis, itulah ciri manusia dari timur. Teologi para pujangga gereja kawasan timur berperan sebagai “tafsiran” atas apa yang dirumuskan konsili-konsili dahulu. Teologi itu disistematisasikan oleh Yohanes dari Damsyk.

Karyanya “De Fide Orthodoxa” berabad-abad lamanya menjadi buku pedoman teologi dikawasan timur yang selalu sangat menekankan kesetiaan pada tradisi para leluhur dari zaman awal. Itu berarti bahwa gambaran Yesus Kristus ialah suatu gambaran yunani dengan tekanan pada keilahian. Prinsip dasar ialah Allah menjadi manusia, supaya manusia dapat mejadi ilahi dan menjadi peserta dalam kebakaan dan ketikfanaan Allah, bebas dari pembusukan.

Allah menjadi senasib dengan manusia, supaya manusia menjadi senasib dengan Kristus Ilahi[4]. Yesus Kristus itu diterima dalam budaya manusia karena Allah berusaha masuk dalam budaya manusia. Artinya Yesus PutraNya hadir dalam tradisi budaya saat itu dan datang sebagai manusia, supaya maksud Allah itu terpenuhi. Maka supaya Yesus Kristus itu benar hadir ditengah budaya atau manusia mesti juga memperhatikan caranya. Caranya adalah memberikan model-model untuk kontekstualisasi yang tepat terhadap hasil-hasil perjumpaan antara tipe ideal dan komunitas lokal atau komunitas berbudaya.

Dan cara lain adalah melakukan perjumpaan antara tradisi dan situasi lokal dengan membahas suatu  tema dalam teologi perspektif lokal dengan mempunyai akar-akar yang jelas dalam budaya. Dan juga disadarkan dengan teologi-teologi besar timur dan barat yang telah mengambil dari sistem filsafat yang diuraikan dalam budaya mereka dan dijadikan kerang bagi pertanyaan dan jawaban.

Untuk Melanesia dapat dilakukan lewat nyanyian-nyanyian, sekaligus menemukan budaya, membaca teks-teks budaya untuk menentukan tanda-tanda, aturan-aturan dan pesan-pesan dalam sistem-sistem tanda[5]. Untuk menemukan serta memahami Yesus dalam budaya si pewarta  juga perlu membutuhkan komunikasi dengan tempat pelayanan. Hendaknya harus dapat mengenal terlebih dahulu, agar dalam komunikasih tidak ada hal yang benar atau hal yang salah, sejauh hal-hal tersebut berkaitan dengan Kepercayaan[6].

Epilog

Menemukan Yesus dalam budaya memang tidak mudah. Segala suku bangsa didunia punya tata cara hidup atau kebiasaan hidup begitupun di Asia. Sejarah tentang Yesus Kristus ada dalam ajaran Kristologi itu sendiri. Ajaran ini sudah terjadi di bagian barat sesudah itu mulai mewartakan ke dunia Timur yakni Asia. Namun memasukan nama  Yesus Kristus ini dalam budaya Asia gampang-gampang susah. Dengan demikian mesti membangun suatu cara lokalseperti yang dutuliskan diatas, bagaimana membangun teologi lokal, dengan suatu komunikasih anatar budaya yang sehat. Melihat secara peka supaya gereja berakar bersama budaya setempat.

Dan mengangkat budaya setempat misalya nyanyian, tarian, tentu berekpresi dengan penuh wibawa, sopan dan antusias, nah disitulah Yesus itu benar-benar ada dan hadir ditengah budaya. Manusia selalu bersandar pada budaya maka segala-sesuatu mesti bersandar pada budaya. Dan juga mengangkat agama-agama suku ditempat agar dengannya juga merasa Yesus ada dalam budaya. Karena Agama Suku atau agama asli merupakan bentuk kerohanian khas dari suatu bangsa atau suku bangsa, sejauh itu berasal dan berkembang di tengah-tengah suku atau bangsa itu sendiri dan tidak ditiru atau dijiplak dari kerohanian suku atau bangsa lain.  Konsep kebudayaan yang diartikan oleh Geertz mengandung  “suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam symbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang dengannya manusia berkomunikasih melestarikan dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan”[7].

Penulis: Fr. Zebedeus Mote, saat ini menjalani Tahun Orientasi Karya (TOK) di Paroki St. Yohanes Pemandi Waghete.

[1] Budaya menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

[2] Dikutip, http://lewisjuntak.blogspot.com/2013/04/kristus-terhadap-kebudayaan.html, diunduh 2 Mei 2020.

[3] Lih, Noerhadi Heraty Toety, Aku dalam Budaya, “telah teori & metodologi  filsafat budaya”, hal. xvii-1.

[4] Groenen Cletus,  Sejarah Dogma Kristologi, hal 183.

[5] Bdk. J.Schreiter,Robert, Ranjang Bangun Teologi Lokal, hal. 128-132.

[6] Sihabudin Ahmad, Komunikasih AntarBudaya, “Satu perspektif Multidimensi”, hal 57.

[7] Bdk, Sap dan Bahan Ajar Agama-agama, (STFT Fajar Timur),hal 1.

Keuskupan Timika

Official WEB Keuskupan Timika di kelola oleh Komisi Komunikasi Sosial

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button